Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta, Senin 4 Nopember 2019 kemarin memvonis bebas mantan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir.
Dalam persidangan pada Senin 7 Oktober 2019 sebelumnya, Jaksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menuntut Sofyan Basir hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
Majelis hakim sendiri berpendapat bahwa Sofyan Basir tidak terbukti memenuhi unsur perbantuan memberi kesempatan, sarana, dan keterangan kepada terpidana Eni Maulani Saragih dan Johannes Kotjo dalam mendapatkan keinginan mereka untuk mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
Majelis hakim juga berpendapat bahwa Sofyan Basir sama sekali tidak mengetahui adanya rencana pembagian fee yang dilakukan oleh Johannes Kotjo kepada pihak lain.
Kekalahan KPK dalam kasus Sofyan Basir ini semakin menambah aib bagi lembaga anti rasuah "yang tak mungkin salah" ini. Sebelumnya KPK juga kalah dalam kasus mantan ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Temenggung yang diputus bebas oleh MA (Mahkamah Agung) karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Â
Kasus Sofyan Basir ini sangat menarik perhatian karena kasus ini memang terkesan "abu-abu."
Bagaimana tidak, biasanya mangsa KPK itu adalah maling yang benar-benar tercyduk dalam suatu operasi OTT, ataupun dalam suatu pengungkapan kasus yang benar-benar memenuhi unsur dua alat bukti yang cukup untuk dibawa ke persidangan. Sementara kasus Sofyan Basir ini sangat berbeda dengan kasus-kasus yang pernah ditangani KPK.
Mari kita lihat tuduhan KPK dalam kasus ini, dimana Sofyan Basir diduga memfasilitasi pertemuan antara Eni Maulani Saragih dan Johannes Kotjo, untuk mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
Dakwaan ini bias, loetjoe dan bisa keliru.
Pertama, sejak awal reformasi PLN sendiri punya "hutang listrik" yang hanya bisa dilunasi dengan cara membangun power plant (pembangkit listrik) sebanyak mungkin.