Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas topik SP3 yang dianggap melemahkan itu.
Sebelum revisi UU-KPK kemarin itu, KPK tidak boleh menerbitkan SP3 untuk penghentian penyidikan perkara. Itulah sebabnya KPK butuh waktu lama untuk mengungkap sebuah kasus.
Ibarat dalam perang, amunisi KPK itu harus berlapis-lapis dan tak ada habisnya. Artinya kalau seseorang itu sudah sempat mengenakan "rompi oranye," maka percuma saja ia menyewa pengacara mahal untuk membelanya, karena ia tetap akan masuk bui juga.
Sepintas ide ini tampak hebat sekali. KPK itu didesain bak Superman, Batman ataupun Spiderman yang gagah perkasa dan tak boleh kalah.
Namun arah KPK akhirnya justru melenceng dari tujuan semula.
Tujuan utama pembentukan KPK adalah untuk "mencegah" korupsi, baru kemudian "menindak." Ibarat kesehatan tubuh, "mencegah lebih baik daripada mengobati!"
Tujuh belas tahun sejak kehadiran KPK, ada ratusan koruptor yang ditindak. Akan tetapi kehadirannya tidak membuat korupsi berkurang!
Kalau kita hanya bergantung kepada seorang "Batman" saja untuk menyelesaikan kejahatan, maka kita jelas akan kalah. Di luar sana ada seribuan "Joker" yang siap untuk melakukan aksi kejahatan.
Lantas dimana letak benang merahnya?
Tampaknya tidak ada yang tertarik untuk mencari tahu, termasuk juga LSM seperti ICW dan LSM-LSM pendukung, dan buzzer-buzzer KPK sendiri.
Salah satu jawabannya terletak pada SP3 tadi! Tiadanya SP3 justru memenjarakan KPK itu sendiri! Ketika penyidikan dan penuntutan kasus tidak boleh dihentikan, maka bencana sudah siap menanti.