"Solusi hujan buatan itu sebenarnya sederhana. Hujannya kita ajak bicara, kita bangun moralnya, kita bangun akhlaknya, lalu kita beri payungnya Ini cuma masalah komunikasi saja..."
(Wan Abud, Gabener seiman)
Pada Minggu, 18 Agustus 2019 kemarin, Jakarta menempati peringkat ketiga sebagai kota dengan udara terburuk di dunia. Berdasarkan data Airvisual hingga pukul 07.34, kualitas udara Jakarta tercatat tidak sehat, dengan AQI (Air Quality Index) atau indeks kualitas udara sebesar 157 dengan konsentrasi parameter PM 2.5 sebesar 68 ug/m3.
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologo dan Geofisika) mengungkapkan menurunnya kualitas udara Jakarta belakangan ini disebabkan oleh tiga faktor yakni polusi dari kenderaan, pembangunan dan musim kemarau.
Pada musim kemarau, udara yang stagnan dan kecepatan angin yang rendah, memungkinkan polusi udara tetap mengapung dan terperangkap diudara suatu wilayah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi polutan yang tinggi pada tempat tersebut.
Polusi dari industri-industri sebenarnya turut menyumbang polusi yang besar juga bagi udara Jakarta. Tiadanya hutan kota atau kecilnya persentase Kawasan hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota itu, turut memperburuk udara Jakarta. Dengan kondisi udara yang buruk begini, maka warga masyarakat sangat rentan terkena penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas)
Jumlah kenderaan bermotor, terutama di Jakarta mengalami peningkatan pesat dari tahun ke tahun. Hal ini jelas berakibat langsung kepada polusi udara Jakarta.Â
Sisa pembakaran dari kenderaan bermotor menghasilkan residu karbon mono oksida dan zat-zat beracun lainnya. zat-zat beracun ini kemudian terperangkap di udara, berubah menjadi polutan yang mempengaruhi kualitas udara.
Kondisi  ini semakin diperparah oleh buruknya kualitas BBM kita. Premium (RON 88), Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92) masih mengandung timbal dan sulfur dengan kandungan tinggi. Untuk mengurangi polusi ini, sebaiknya Premium dan Pertalite tidak boleh lagi dijual di pom bensin wilayah Jakarta. Artinya standar bensin di Jakarta itu minimal harus Pertamax (RON 92).
Pembatasan usia kenderaan bermotor sepertinya tidak linier dengan polusi. Yang lebih menentukan itu adalah kadar emisi gas buang dari kendaraan yang bersangkutan.Â
Hal ini sering kita lihat pada kenderaan umum yang perawatannya kurang baik (walaupun usia kenderaannya belum tua) yang mana asap dari knalpot meninggalkan jelaga hitam yang polutan. Dengan demikian diharapkan nantinya kenderaan yang berlalu-lalang di Jakarta harus memenuhi standar kadar emisi gas buang yang ditentukan.
***
Sebenarnya sudah sejak lama udara Jakarta tercemar. Tetapi musim kemarau yang berkepanjangan kali ini, dimana nyaris tidak pernah turun hujan, membuat kualitas udara semakin buruk. Polutan dari kenderaan dan industri akhirnya terperangkap di udara. Sekiranya turun hujan, polutan itu pasti akan tercuci oleh air hujan dan pertukaran udara.
Pertanyaan pentingnya kemudian adalah, mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak mengupayakan hujan buatan? Bukankah hujan buatan selama ini cukup efektif mengurangi dampak kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan?
Sebenarnya beberapa waktu lalu BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sudah melakukan rapat dengan TGUPP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) dan BBTMC (Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca) membahas aplikasi hujan buatan tersebut dalam rangka untuk mengurangi dampak dari polusi yang terjadi selama ini.Â
Namun rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan karena Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan tidak setuju.
Anies menyatakan pihaknya masih merembukkan cara untuk meningkatkan kualitas udara Jakarta. Menurutnya masih ada banyak cara yang bisa ditempuh sebelum melakukan hujan buatan.
"Jadi kita ingin agar langkah-langkah untuk membereskan masalah kualitas udara Jakarta ini bukan langkah jangka pendek saja, tapi juga jangka panjang. Nah ini jangka pendek sedang kita bicarakan. Dimatangkan dulu terus nanti diumumkan. Saya mendengar BBPT sudah menyampaikan keluar. Perlu saya sampaikan bahwa itu tidak seharusnya dibicarakan sebelum matang" kata Anies.
Tak lama kemudian, BBPT membantah pernyataan Anies soal offside hujan buatan tersebut. Kepala BPPT, Hamman Riza menyatakan bahwa rencana menggunakan hujan buatan untuk mengatasi polusi Jakarta adalah berdasarkan permintaan Pemprov DKI Jakarta sendiri. Secara birokrasi, BPPT, BBTMC dan TGUPP sudah melakukan rapat bersama untuk membahas hujan buatan tersebut.
"Itu hasil rapat. Sesuai yang disampaikan pihak DKI. Karena DKI butuh cepat. DKI dalam hal ini diwakili oleh TGUPP minta TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) dilakukan sebelum tanggal 15 (Juli 2019), yang mana tanggal itu anak-anak sudah mulai masuk sekolah, dan kita siap.Â
Pak Anies menginginkan solusi terhadap polusi udara yang matang untuk jangka panjang, sedangkan TMC sudah matang untuk jangka pendek"
Pernyataan Hamman itu sekaligus juga sebagai bantahan atas pernyataan Anies sebelumnya yang menyebut BPPT offside, karena mengumumkan rencana yang masih belum bisa dipastikan.
Memang TMC (hujan buatan) adalah solusi jangka pendek, sebab kalau TMC ini dipakai untuk jangka panjang, maka TMC harus  sering-sering dilaksanakan. Kalau begini urusannya pasti akan makin ribet, karena Jakarta pasti akan terkena banjir.
Solusi jangka panjang tetaplah dengan mengurangi polusi dari kenderaan bermotor dan industri. Selain itu diperlukan penambahan taman dan hutan kota yang luasnya saat ini sangat tidak layak untuk kota sebesar Jakarta.
Konflik kecil antara gabener dengan BPPT ini kemudian membuat warga tertawa geli. "Yang salah itu pastilah BPPT." Kabar "hujan di tengah kemarau" ini seharusnya disampaikan langsung oleh gubernur, bukan BPPT!
Akhirnya gabener merajuk, dan batal-lah warga Jakarta menikmati hujan buatan, dan sekaligus juga masih akan tetap menikmati polusi busuk dari udara Jakarta...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H