Tampaknya infrastruktur masih menjadi target utama Jokowi dalam pemerintahan jilid II nanti. Sekalipun menuai banyak pujian, tapi tak sedikit juga yang mencibir, terkait dengan jumlah utang yang terus membengkak gegara masifnya pembangunan infrastruktur ini.Â
Pembangunan trans Papua yang menghabiskan biaya triliunan rupiah ini juga menjadi sorotan. Sebandingkah biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapat? Apalagi ditengah kondisi keuangan yang pas-pasan.
Tidakkah lebih baik dana investasi tersebut dipakai untuk membangun perumahan rakyat, pabrik-pabrik atau menambah modal kerja BUMN misalnya?
Dalam suasana dirgahayu kemerdekaan pada saat ini, Jokowi sepertinya hendak mengingatkan. Tanpa dibarengi kesamaan perlakuan negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan fasilitas, infrastruktur dan pelayanan publik, tidak sepatutnya kita menyebut diri kita adalah bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Ini memang dilematis. Dengan keuangan yang terbatas, kita dituntut agar bisa memaksimalkan dana yang ada untuk meningkatkan daya saing tentunya lewat investasi dan tambahan modal kerja. Di sisi lain, kita sudah 74 tahun merdeka, namun masih ada saudara-saudara kita dibagian Timur sana yang hidup dalam kegelapan.Â
Layakkah kita menyebut diri kita adalah bagian dari NKRI? Selama ini mereka terabaikan karena kita memang sengaja mengabaikan mereka. Namun Jokowi ternyata tidak pernah melupakan mereka.
Kini harga BBM di beberapa tempat di Papua sudah sama seperti di bagian lain negeri ini. Padahal sebelumnya harga BBM tersebut bisa mencapai sepuluh kali lipat!
Demikian juga tol laut yang disubsidi negara tersebut, ternyata berhasil membuat harga bahan-bahan bangunan di pulau-pulau terluar Indonesia tak berbeda jauh dengan di tempat lain di bagian barat Indonesia. Dan masih banyak lagi kesenjangan sosial yang terkikis pada era pemerintahan Jokowi-JK ini, namun tidak terekspos di media massa.
Infrastruktur yang prima tentu saja akan menekan harga pokok produksi, delivery time dan biaya transpor. Otomatis harga jual juga bisa ditekan. Dengan demikian hasil produksi kini kompetitif untuk bersaing dengan produk impor, dan kini pun siap bersaing untuk diekspor.
Infrastruktur tanpa investasi tentu adalah sia-sia. Untuk itulah dibentuk sebuah kementerian baru yang merupakan perluasan dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) agar outputnya bisa lebih maksimal. Dengan demikian segala perizinan yang selama ini menjadi momok penghambat investasi bisa disederhanakan.
Hal menarik lainnya adalah pemanfaatan Kedubes/Konjen RI di luar negeri untuk mengurusi perdagangan luar negeri. Seperti kita ketahui, ekspor kita memang tergolong loyo. Ekspor Indonesia pada tahun 2017 tercatat 145 miliar dollar AS, kalah dari Thailand yang mencapai 231 miliar dollar AS, Malaysia 184 miliar dollar AS ataupun Vietnam sebesar 160 miliar dollar AS. Tragis memang. Dengan resources dan SDM yang jauh lebih besar, kita justru kalah! Jelas ada yang salah dengan mindset/kebijakan ekspor kita.