Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Demokrat yang Kian Terpinggirkan

13 Agustus 2019   21:39 Diperbarui: 13 Agustus 2019   21:45 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY, sumber: tribunnews.com

Kongres V PDI-P yang berlangsung di Bali kemarin, kemudian menjadi panggung pertunjukan seorang perempuan bernama Megawati Soekarno Putri. Peribahasa "tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi" terasa tepat bagi sosok Mega yang kemudian berhasil memporakporandakan percaturan politik yang kebetulan didominasi oleh kaum Adam ini.

Para ketum parpol yang dipimpin para pria gagah berani itu pun terkulai lemah, terdiam, terkena sabetan "phasmina" Ketum partai berlambang banteng itu.

Pada perhelatan Kongres V PDI-P di Bali itu, ada sedikit pemandangan yang terasa janggal, yaitu tidak hadirnya sosok Ketum Partai Demokrat, SBY. Atau kalaupun beliau berhalangan hadir, setidaknya akan tampak sosok putra mahkota, AHY. Namun sosok mereka tidak terlihat samasekali. Ada apa gerangan? Bukankah pada waktu lebaran kemarin keluarga besar SBY (minus pak beye) bersilaturahim ke Teuku Umar?

Tidak hadirnya sosok keluarga Cikeas kemudian menimbulkan berbagai spekulasi. Apakah masih ada tersimpan rasa benci di dalam dada, ataukah ada agenda politik lainnya?

Sebenarnya tidak ada lagi relasi "baper" dalam hubungan Teuku Umar-Cikeas ini. Ibu Mega sendiri pun turut hadir dalam prosesi pemakaman ibu Ani kemarin itu. Apalagi lebaran pada Juni kemarin pun sudah mencairkan hubungan yang selama ini membeku.

Megawati dan SBY, sumber: (Dok. Setpres)
Megawati dan SBY, sumber: (Dok. Setpres)
Jadi ketidakhadiran sosok Ketum Demokrat pada Kongres V PDI-P di Bali ini lebih kepada pertimbangan politik semata. Tapi seandainya mau dikatakan Demokrat kini kurang diperhitungkan lagi, yah memang ada benarnya juga. Gejala itu sebenarnya sudah tampak tahun lalu, ketika AHY akhirnya gagal naik ke pelaminan Pilpres 2019 gegara kasus "jenderal kardus"

Ataupun ada pertimbangan lain juga! Kemarin itu ibu Mega menyindir dengan mengatakan, "ada yang gak keringatan tapi tega minta jatah menteri!" Sindiran ini pastinya bukan kepada Gerindra, yang memang justru sengaja dijorokin supaya mau datang.

Jadi "terdakwanya" kini tinggal dua, PAN atau Demokrat! Rumitnya lagi, kenapa PAN diundang sedangkat Demokrat tidak?

Mungkin ibu Mega sengaja tidak mengundang Demokrat, karena tidak enak hati kalau nantinya akan menyindir tamunya itu secara langsung. Atau sebaliknya juga, ibu Mega sengaja tidak mengundang Demokrat supaya pak beye atau AHY nantinya tidak tersinggung, karena ia sebenarnya sedang menyindir PAN yang hadir dihadapannya itu. wkwkwkwkwkwkwk.....

Tapi bagi banyak politisi, soal sindir-sindiran ini adalah hal yang biasa saja. Wong menjilat ludah sendiri pun mereka ini tidak keberatan koq, termasuk ludah mereka yang berceceran di lantai, wkwkwkwkwkwk...

***

Apa pun itu, saat ini Demokrat memang sedang dilanda krisis internal. Kepemimpinan SBY kini sedang digoyang dari dalam, oleh mereka yang mengatasnamakan FPDD (Forum Pendiri dan Deklarator Demokrat)

Adalah fakta bahwa sejak SBY mengambil alih tampuk kepemimpinan Demokrat dari tangan Anas Urbaningrum lewat KLB (Kongres Luar Biasa) pada akhir Maret 2013 lalu, pamor Demokrat semakin turun.

Ditangan SBY, perolehan suara Demokrat merosot tajam menjadi 10,19 % pada Pemilu 2014 dan 7,77% pada Pemilu 2019. Padahal sebelumnya Demokrat menjadi jawara dengan mendulang 20,40% suara pada tahun 2009 lalu.

Merosotnya suara Demokrat ini terkait dengan banyaknya kasus yang menimpa kader Demokrat di pemerintahan pada saat kepemimpinan SBY jilid II kemarin.

Ketika mengikuti Pemilu kali pertama pada tahun 2004 lalu, Demokrat sebagai partai baru kala itu mampu meraup suara sebesar 7,45%  Suara Demokrat ini sebenarnya tak beda jauh dengan perolehan suara sebesar 7,77% pada pemilu 2019 kemarin. Sepertinya angka ini mencerminkan proporsi kekuatan Demokrat yang sebenarnya dalam kue politik nasional.

Sebenarnya kurang tepat juga mengatakan faktor kepemimpinan SBY membuat perolehan suara Demokrat menjadi turun. Catat, walaupun ketika itu tidak menjadi ketua partai, tetapi ketika suara Demokrat mencapai angka 10,19% (2014) dan 20,40% (2009) SBY saat itu menjabat presiden selama dua periode. Jadi jelas faktor SBY sebagai presiden berperan besar dalam mendongkrak suara Demokrat. Tanpa sosok dan dukungan dana dari SBY, Demokrat pasti akan hancur seperti nasib Hanura.

***

Dari sisi kepentingan politik jangka pendek, tentulah ada alasan kuat mengapa Megawati tidak mengundang petinggi Demokrat untuk hadir pada Kongres V PDI-P yang berlangsung di Grand Inna Beach, Denpasar, Bali, kemarin itu.

Perubahan "arah angin" politik yang begitu cepat tentu menjadi penyebab utamanya. "Diplomasi lebaran" bersama AHY dan Ibas kemarin itu adalah rencana cadangan Megawati sekiranya diplomasi nasi goreng menemui jalan buntu. Tentu tidak ada makan siang yang gratis. Megawati tentu sudah berhitung untung-rugi  dengan opsi dari kedua parpol ini.

Fokus Prabowo adalah Pilpres dan ia tidak terlalu menuntut hal-hal lainnya. Selain itu, pada Pilpres 2009 lalu Megawati berpasangan dengan Prabowo. Terlepas dari perbedaan kepentingan politik, keduanya setidaknya sudah saling mengenal dekat akan karakter masing-masing. Artinya mereka lebih mudah untuk menemukan solusi atas setiap perbedaan yang ada.

Sebaliknya dengan pepo yang terkesan baperan dan cerewet dengan perintilan-perintilan kecil, dan tentunya juga soal jatah menteri. Selain itu pepo juga terkenal dengan manuver dadakannya yang bisa membahayakan kepentingan koalisi pemerintah nantinya. Soal ini, tentu saja Megawati sudah berpengalaman karena sudah mengalaminya sendiri.

Satu hal penting lainnya adalah, tampaknya sedari awal Mega sudah memutuskan untuk memilih salah satu saja dari kedua parpol ini. Gerindra atau Demokrat, tidak keduanya! 

Karena bila berdua dalam satu paket, mereka ini sangat berbahaya. Itu karena keduanya punya kemampuan untuk menggerakkan massa dan membentuk koalisi politik dalam waktu singkat. Catat, keduanya adalah jenderal terlatih yang sudah terbiasa mengatur siasat termasuk dalam gerakan bawah tanah!

Mega sendiri tampaknya justru ingin menjauhkan kedua tokoh penting ini agar tidak saling berinteraksi. Untuk jangka pendek usaha ini akan berhasil, bukan karena kehebatan Mega, tetapi lebih karena kedua parpol ini masih dalam fase "hibernasi." Setahun menjelang Pilpres 2024, barulah kedua tokoh besar ini akan unjuk gigi kekuatan yang sebenarnya.

Apakah Mega akan mendukung Prabowo nantinya pada Pilpres 2024 seperti yang "dianginkannya" pada saat kongres PDI-P kemarin itu?

Tampaknya itu cuma pepesan kosong belaka bro-sis, sebab ini memang dunia politik, wkwkwkwk...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun