Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mati Listrik Mati Gaya

5 Agustus 2019   15:26 Diperbarui: 5 Agustus 2019   15:40 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Narsis dulu sebelum masuk ruang pertunjukan, sumber : dokpri

Gempa bermagnitudo 6,9 skala Ricter yang terjadi di Banten pada Jumat, 2 Agustus kemarin memang mengguncang warga Jakarta, tapi dampaknya cuma terasa sebentar saja. Namun "gempa" yang sesungguhnya barulah terjadi pada Minggu 4 Agustus kemarin yang seketika kemudian langsung melumpuhkan seluruh warga Jakarta.

Gempa itu terjadi ketika listrik PLO eh PLN shutdown, blackout atau apapun namanya, yang akhirnya telah membawa warga Jakarta menderita sengsara tanpa membawa kenikmatan di ujungnya.

Begitu listrik PLN terputus, sontak Jakarta lumpuh. Kereta komuter dan MRT ngambek. Bisa dipastikan LRT juga. Transjakarta terpaksa menggratiskan layanannya karena portal halte dan sistim elektronik Transjakarta "mati gaya"

Jalan raya di kota Jakarta juga acak kadut karena lampu lalu lintas di perapatan ataupun pertigaan jalan mati. Untunglah kejadian ini terjadi pas hari libur. Tidak terbayangkan kalau seluruh lampu lalulintas mati pas pada Senin sore saat jam pulang kantor...

Dari sekian banyak gangguan yang terjadi pada saat listrik PLN padam kemarin, ada dua hal yang menjadi perhatian saya. Yang pertama adalah sarana komunikasi dan kedua cash.

Ceritanya Minggu siang kemarin itu, kita mau nonton pertunjukan teater Koma di TIM (Taman Ismail Marzuki) Pertunjukan hari terakhir ini dijadwalkan mulai jam 13.30 yang durasinya sekitar empat jam.

Karena trotoar dan sebagian badan jalan Cikini itu diobrak-abrik gabener, maka para penikmat teater Koma sudah diwanti-wanti via email agar datang lebih cepat dengan naik taksi atau kenderaan umum saja karena macetnya jalan Cikini dan juga keterbatasan tempat parkir.

Setelah cukup lama kebingungan untuk mencari tempat parkir, akhirnya diputuskan untuk memarkir mobil di rumah sakit Bunda Gondangdia. Dari situ rencananya naik grab ke TIM.

Ketika listrik PLN padam siang hari kemarin, ternyata sarana telekomunikasi juga langsung ngadat dan kacau. Sialnya aplikasi grab dan gojek pun mati gaya, sehingga tidak bisa diandalkan. Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit, barulah sebuah taksi terlihat batang hidungnya, alhamdulillah...

Pukul 13.35 waktu TIM kami tiba dan langsung masuk karena lampu di ruang pertunjukan ternyata "sudah gelap." Sebelum masuk saya sempat ngedumel karena tempat parkir ternyata tidak terlalu ramai. "Sialan, kalau langsung kemari setidaknya saya bisa menghemat 20 menit, dan bisa mengisi perut terlebih dahulu"

Eits, jangan marah dulu bro. Tempat parkir itu sepi justru karena sudah ada pengumuman via email tadi. Kalau tidak, tempat parkir itu pasti sudah acak kadut juga, hehehehe...

Sebelum menikmati pertunjukan Goro-goro dari teater Koma, saya pun mengunyah sebutir antasida dan langsung melek mengikuti pertunjukan....

Narsis dulu sebelum masuk ruang pertunjukan, sumber : dokpri
Narsis dulu sebelum masuk ruang pertunjukan, sumber : dokpri
***

Pertunjukan  Goro-goro dari teater Koma usai sekitar jam 17.45 yang kemudian dilanjutkan sesi foto-foto dengan pengunjung. Awalnya saya cuma kebagian tukang foto-foto saja. Namanya juga anak laki zaman old yang rada risih minta foto. Eh tiada dinyana tiada diduga justru para awak teater Koma termasuk aktor sekelas Slamet Raharjo pun getol ngajakin foto bersama kepada penonton setia mereka itu. Aseeek...

Foto bareng aktor teater Koma, sumber : dokpri
Foto bareng aktor teater Koma, sumber : dokpri
Karena perut sudah keroncongan terpaksa isi muatan dulu. Kebetulan di samping TIM ada hotel Ibis. Gak tau ya, apakah karena pengaruh listrik PLN yang belum nyala atau apa, makanan yang dipesan juga butuh setengah jam baru nyampe di meja. Selain itu yang namanya kartu kredit, debet, ovo dan gopay tidak berlaku karena mesin EDC (Electronic Data Capture) tidak berfungsi. Yah kita kembali lagi ke zaman old dimana transaksi harus dengan cash!

Problem selanjutnya adalah transportasi dari TIM ke rumah sakit Bunda Gondangdia, dimana mobil terparkir. Aplikasi grab dan gojek masih mati gaya. Kondisi jalan Cikini yang morat-marit pun membuat taksi ogah melewatinya. Setelah menunggu lebih dari seperampat jam, satpam yang baik hati itu pun berhasil mencegat sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya.

Cerita cash kemudian berlanjut ketika membayar parkir di rumah sakit Bunda. Padahal sebelumnya semua mesin ATM tidak berfungsi! Setelah itu problem cash juga terjadi ketika harus mengisi BBM di Shell. Padahal tebal dompet kini sudah setipis kartu kredit. Cilaka, no cash no BBM! Gawat, bagaimana kalau sampai besok situasinya masih seperti ini juga?

Menyusuri sepanjang jalan yang gelap menuju rumah juga harus banyak-banyak doa dan bersabar. Pertigaan dan perempatan jalan pun menjadi daerah yang rawan bencana karena tidak ada lampu lalu lintas. Pada situasi ini berlakulah petuah bijak, "sing waras ngalah..."

Suasana temaram pada sebuah warteg yang mati gaya, sumber : Tribunnews.com
Suasana temaram pada sebuah warteg yang mati gaya, sumber : Tribunnews.com

***

Beberapa kasus seperti diatas akhirnya mengingatkan kita betapa pentingnya peranan cash dalam situasi darurat yang tidak bisa diprediksi. Sebaiknya kita tetap punya cadangan cash di dompet maupun di rumah untuk mengantisipasi situasi gawat darurat. Kita jangan juga terlena dengan kehidupan yang serba cashless seperti sekarang ini. Sebab ketika pasokan listrik terputus, maka anda seketika akan mati gaya!

Ketika gempa kuat mengguncang Hokkaido, Jepang, suplay listrik kemudian putus total. Kota Sapporo pun langsung menjadi gelap gulita. Selama periode bencana ini, dua juta penduduk menyerbu supermarket dan toko serba ada untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Namun apa yang terjadi? Mereka seketika menjadi orang miskin karena tidak punya uang tunai, sehingga tidak mampu untuk membeli makanan sehari-hari.

Banyak orang kaya kelaparan. Sebagian terpaksa harus mengemis dan berharap pada belas kasihan orang lain. Setelah aliran listrik dan perbankan pulih, barulah situasinya berjalan normal.

Gempa yang menggoncang Palu dan Donggala tahun lalu juga menimbulkan kasus yang sama dengan Hokkaido. Jaringan listrik dan komunikasi terputus. Kartu kredit dan debet pun mati gaya. Tanpa uang tunai anda akan menderita. Pengalaman seorang teman yang mengalaminya sendiri bisa dijadikan pelajaran berharga. Harga sebotol air mineral mencapai sepuluh kali lipat dari harga normal, dan itu pun harus dibeli dengan cash!

***

Listrik adalah infrastruktur yang sangat penting bagi kehidupan. Ketika listrik padam, barulah kita menyadari arti dari semboyan, Habis gelap terbitlah terang. Ketika Jakarta dan sebagian pulau Jawa padam sampai beberapa jam, semuanya menjadi mati gaya. Mungkin sudah seharusnya masalah listrik ini dievaluasi dan ditingkatkan lagi kemampuannya agar bisa mengikuti peningkatan konsumsi listrik nasional yang linier dengan laju pertumbuhan penduduk. Apalagi sebagian dari pembangkit dan jaringan transmisi itu sudah berusia tua.

Tapi ada juga sebagian warga yang kurang setuju dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangkit dan jaringan transmisi listrik ini. "Ngapain buang-buang duit, apalagi dengan utang kepada asing-aseng untuk membiayai infrastruktur. Makan tuh inprastruktur....!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun