Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Problem Klasik Perekonomian Nasional

10 Juli 2019   12:39 Diperbarui: 10 Juli 2019   12:46 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1997 akan selalu dikenang dalam sejarah perekonomian Indonesia sebagai catatan sejarah yang paling kelam. Krisis ekonomi yang bermula dari menguatnya US Dollar (secara tidak masuk akal) di kawasan regional Asia kemudian menyeret Indonesia jatuh kedalam palung laut terdalam. Perekonomian Indonesia kandas, dan tidak akan mungkin bisa kandas lagi, karena kita sudah berada pada "titik terendah pada lapisan kerak bumi"

Pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan nasional bangkrut karena hutangnya dalam denominasi rupiah menggelembung seketika sampai lima kali lipat! Ibarat anak kecil yang sehari-harinya membawa tas sekolah seberat 5 kg, seketika dipaksa harus membawa tas sekolah seberat 25 kg, Anak itu pasti akan "gegana raya" (gelisah, galau, merana merasa tak berdaya)

Kerusakan perekonomian itu semakin diperparah lagi ketika Indonesia bertekuk lutut pada titah sang rentenir bin lintah darat bernama IMF. Bulog dikebiri atas fatwa free market. BUMN "dicincang" lalu dijual kepada "asing-aseng" Kita "di-Irak Suria-kan" lalu dijajah oleh foreign corporates yang membonceng dibalik ketiak  IMF. Sebagian dari foreign corporates itu saham terbesarnya justru dimiliki para tauke perusahaan nasional yang ambruk tadi.

Aneh tapi nyata memang. Di dalam negeri, saham perusahaan para tauke itu nilainya cuma seharga sebatang rokok. Akan tetapi lewat perusahaan cangkang mereka di Cayman, Swiss ataupun Virgin Island, mereka siap memborong saham-saham perusahaan di Asia Tenggara maupun Korea Selatan yang nilainya "sudah jatuh ditimpa tangga pula..."

Tak lama kemudian BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)  atau IBRA (Indonesian Bank Restructuring Agency) dibentuk. Tugasnya adalah melaksanakan upaya penyehatan bank-bank, mengelola asset bermasalah, dan mengadministrasikan program jaminan pemerintah. Akan tetapi BPPN juga tidak bisa maksimal.

Situasinya memang pelik ketika itu. Negara butuh cash untuk menambal APBN, sementara nilai saham perusahaan-perusahaan bermasalah itu tak lebih berharga dari kertas pembungkus tempe. Butuh cash, strategi, waktu, komitmen dan "integritas tingkat dewa" untuk memoles perusahaan-perusahaan itu agar nilainya bisa bagus kembali. Ketika nilainya sudah bagus, tentu gain yang didapat pemerintah ketika nantinya menjual saham perusahaan tersebut akan bagus pula.

Apalagi perusahaan-perusahaan itu, terutama bank dan Lembaga Keuangan lainnya itu ambruk, memang karena dirampok oleh pemiliknya sendiri. Sebagian lagi memang karena mismanagement. Ini memang tak lepas dari kebijakan Sumarlin (Menteri keuangan ketika itu) yang melonggarkan persyaratan untuk membuat bank (bank devisa, bank umum maupun bank pasar) pada akhir tahun 80-an.

Akibatnya "tauke kerupuk" yang dapat cuan proyek besar dari sohibnya yang naik jadi pejabat itu kemudian mendirikan bank pasar untuk diversifikasi usaha sekaligus untuk meraup dana murah dari masyarakat untuk membiayai proyek-proyeknya.

Kalau nasibnya mujur, lima tahun kemudian bank pasar itu sudah bisa bermutasi menjadi bank umum. Mujur lagi, kini bank umum itu berubah menjadi bank devisa. Kini tauke tadi sudah bisa menerbitkan LC (Letter of Credit) bodong, maupun promes (promissory note) abal-abal.

Kalau nasibnya apes karena proyeknya merugi, maka "tauke kerupuk" pemilik bank pasar tadi tinggal kabur saja. Sementara itu para nasabah uang receh ataupun pensiunan PNS yang mengharapkan bunga besar dari tabungan itu pun hanya bisa pasrah mengurut dada sambil mengucurkan air mata. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang dibentuk untuk melindungi kepentingan nasabah, ketika itu memang belum lahir.

***

Tapi itu adalah kisah dua dekade lalu pada zaman "pat gulipat siapa rapat dia dapat, siapa tak lekat hidupnya melarat!" Namun musim berlalu waktu pun berganti. Kini perekonomian Indonesia sudah jauh membaik. Kapitalisasi bursa saham adalah salah satu indikatornya. Perbankan juga semakin kuat, besar, sehat dan tentu saja semakin prudent dalam menjalankan roda bisnisnya. Kehadiran LPS, OJK dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga membantu stabilitas perekonomian nasional.

Selain itu para pemangku kebijakan perekomian Indonesia saat ini adalah orang-orang yang mempunyai kredibilitas, kapasitas, dan mau bekerja keras untuk memajukan perekonomian nasional. Ini adalah modal utama yang tidak dimiliki Indonesia pada era-era sebelumnya. Trust (kepercayaan) adalah fondasi utama perekonomian nasional.

Jadi secara fundamental, regim kebijakan perekonomian kita sudah di jalan yang benar. Terkait defisit neraca berjalan dan utang yang membesar, sama sekali tidak perlu dikhawatirkan karena masih dalam batas koridor yang diizinkan, walaupun tetap harus dikontrol secara bijaksana.

Memang banyak investasi asing yang masuk ke sektor keuangan, yang sifatnya plastis dan temporer. Akan tetapi setelah keputusan MK terkait Pilpres ini keluar, investasi asing yang masuk ke sektor riil diharapkan akan semakin besar.

Saat ini perekonomian dunia melemah, yang berimbas pula kepada Indonesia. Boikot beberapa negara Eropa terhadap CPO Indonesia juga menimbulkan masalah baru. Minyak sawit adalah produk ekspor penghasil devisa andalan Indonesia. Selain itu perkebunan sawit menghidupi jutaan pekerja dan keluarganya di Indonesia.

Selain itu BBM impor juga menguras devisa dan menyumbang defisit neraca berjalan. Lifting (produksi) minyak nasional kini berkisar 800 ribu barrel/hari, sementara kebutuhan nasional berkisar 1,5 juta barrel/hari. Setengah dari kebutuhan BBM nasional itu harus diimpor dengan dollar dan dijual ke masyarakat dalam denominasi rupiah yang sebagiannya malah juga harus disubsidi.

Untungnya pemerintah segera meluncurkan Biosolar B20 yang merupakan penggabungan antara solar (B0) sebanyak 80% dengan minyak kelapa sawit (B100) sebanyak 20%. Hal ini jelas mengurangi sedikit impor minyak solar. Ke depan, pemerintah berencana untuk terus meningkatkan kontribusi minyak kelapa sawit ini dalam pemakaian biosolar.

Namun demikian, harus ada gerakan nasional untuk mengurangi impor BBM ini, yang otomatis juga mengurangi defisit neraca berjalan. Mengurangi pemakaian listrik secara bijaksana dan menggunakan transportasi umum akan otomatis mengurangi konsumsi BBM nasional kita.

Sebaiknya kita memprioritaskan membeli produk lokal daripada produk impor. Kekecualian mungkin kalau produk impor tersebut tidak diproduksi di dalam negeri. Selain menghemat devisa, konsumsi produk lokal selalunya akan menaikkan daya saing produk lokal itu sendiri, mengurangi pengangguran dan menambah penghasilan pemerintah lewat pajak yang disetorkan perusahaan lokal dan konsumen pemakai produk tersebut.

Contoh misalnya bagi anda yang perokok. Membeli rokok buatan dalam negeri akan membantu penghidupan petani tembakau dan buruh tani. Juga membantu pekerja pabrik, tukang ojek, kedai makanan, dan ibu kos yang menggantungkan penghidupan mereka kepada buruh-buruh pabrik tersebut. Jangan lupa pendapatan negara dari cukai rokok dan pajak rokok sangat luar biasa besarnya.

Jalur distribusi rokok mulai dari distributor hingga pedagang rokok asongan di tepi jalan juga memberikan kontribusi bagi negara dan sekaligus juga mengurangi angka pengangguran nasional.

***

Program BI untuk menjaga stabilitas sistim keuangan nasional dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional tentulah sangat berat karena keduanya sangat berseberangan. Di masa lalu, kebijakan Sumarlin itu adalah untuk mengejar tingkat pertumbuhan. Indonesia pun kemudian berubah menjadi macan Asia. Pertumbuhan ekonomi selalunya akan mengurangi angka pengangguran. Namun pertumbuhan yang terlalu besar juga rawan overheat, apalagi regim kebijakan keuangan biasanya akan selalu dilonggarkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Analoginya seperti menjaga berat badan ideal. Bagaimana caranya "makan enak-enak tapi perut tetap langsing" Untuk menjaga perut tetap langsing (stabilitas keuangan nasional) selalunya perlu menjaga asupan makanan (pertumbuhan perekonomian di tingkat yang rasional sekitar 4-5%)

Sebaliknya untuk mengejar pertumbuhan diatas 5%, apalagi sampai 2 digit, dibutuhkan effort yang luar biasa juga, seperti masuknya investasi asing ke sektor riil, termasuk juga melonggarkan regim kebijakan keuangan nasional yang bisa saja berubah menjadi blunder.

Program Menjaga stabilitas sistim keuangan nasional dalam mendorong pertumbuhan perekonomian ini, kini menjadi tanggung jawab kita bersama. Bisnis akan berjalan kalau ada trust (dari pemerintah dan aparatusnya) dan stabilitas sosial (dari masyarakat)

Kalau setiap hari warga berdemo, tentu bisnis tidak akan berjalan dengan sempurna. Slogan "anti aseng-asing" akan membuat investor kecut menggelontorkan dollarnya di sini.

Sebaliknya juga, dana simpanan masyarakat yang berlimpah di perbankan nasional akan membuat perbankan nasional lebih leluasa mengucurkan kredit bagi dunia wirausaha, yang otomatis akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun