Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gabener Mau "Narik Becak"

18 Januari 2018   05:00 Diperbarui: 18 Januari 2018   05:01 1810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Republika

Persis di depan Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan parkir sederetan becak dengan rapi.

"Jalan bang..." seseorang berkata sambil naik ke becak terdepan.

"Kemana den..."

"Monas bang"

"Cash atau card..?"

Dialog diatas bukanlah cuplikan dari film "pengemis dan Tukang becak" garapan sutradara Deddy Armand/Wim Umboh yang dirilis tahun 1978 dulu, melainkan cuplikan dari sebuah film berjudul "Simanies jembatan ancol VS Tukang becak" yang rencananya akan dirilis pertengahan tahun ini....

***

Hari-hari terakhir ini banyak warga lagi "demam becak." Entah mengapa kenderaan roda tiga yang dikayuh oleh abang becak ini sedang digandrungi oleh pak gubernur dan pak wakil gubernur DKI Jakarta. Tadinya ada warga yang mengira kalau pak gubernur atau pak wakil gubernur ini hendak menjadikan becak ini sebagai salah satu alat transportasi mereka ketika akan bepergian. Ternyata tidak. Becak itu ternyata ditawarkan kepada warga sebagai salah satu moda transportasi ketika mereka akan menyusuri jalanan kampung-kampung Jakarta...

Menurut petunjuk kitab sakti Dinas Perhubungan, becak itu tidak termasuk salah satu moda tranportasi untuk umum. Dengan kata lain becak itu haram hukumnya untuk dipergunakan warga! Larangan pengoperasian becak ini sendiri termaktub dalam Perda Nomor 8 Pasal 29 Tahun 2007. Lho koq gabener menabrak perdanya sendiri? kalau toh suka nabrak, ya mbok nabrak tiang listrik saja boss....

Belum tahu juga apakah becak ini nantinya akan ikut masuk dalam program ok-trip, yaitu program satu tiket untuk berbagai jenis moda transportasi secara terpadu. Asik juga kalau becak ini bisa terintegrasi dengan bis Transjakarta. Dari gang di depan rumah naik becak dulu untuk mencapai angkot yang berfungsi sebagai feeder, lalu disambung dengan bis Transjakarta. Selanjutnya, dari halte Transjakarta naik angkot feeder, trus disambung becak lagi, sampailah ditempat tujuan. Semuanya dengan satu tiket Rp 5.000,- oke...oce!

***

Cerita soal becak yang sejak zaman tahun 70-an dulu sudah diuber-uber oleh Bang Ali, gubernur DKI Jakarta ketika itu, sebaiknya tidak usah dibahas lagi. Semuanya juga sudah tahu kalau becak ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya! Yang menarik itu justru untuk mencoba memahami kerangka berpikir dari pencetus ide nyeleneh ini....

Tampaknya polemik perbecakan ini adalah bagian dari "Out of the box the series"yang lolos dari pengamatan warga ketika dalam masa kampanye Pilgub dulu itu. Memang ketika itu perhatian warga lebih terfokus kepada program oke-oce, anti penggusuran, tutup Alexis atau tolak reklamasi itu.

Rangkaian "Out of the box the series"ala gabener ini meliputi, "Menggeser tanpa menggusur," Rumah Lapis untuk menggantikan Rumah Susun, Penyediaan tempat berdagang di tengah jalan bagi PKL Pasar Tanah Abang dan beberapa kisah "aneh tapi nyata" yang akan menyusul kemudian sebagai bagian dari rangkaian "Out of the box the series..."

***

Setelah mencermati seluruh kisah out of the box ala gabener ini, timbul pertanyaan didalam diri, apakah sedemikian naif dan konyolnya pemikiran seorang profesor ini...? Sepertinya tidak...! Ternyata dari semula tujuan dari the professor ini memang bukan 2017, melainkan 2019! Sepertinya gabener ingin mengulang kisah Pakde, memakai Balai Kota sebagai batu loncatan menuju Istana Merdeka, tetapi dengan pendekatan yang berbeda.

Rangkaian kekonyolan ini adalah bagian dari sebuah Grand-design Menuju 2019! Dari semula, bahkan sejak masa kampanye Pilkada lalu, isu yang digiring itu adalah menyangkut isu SARA, Primodialisme, Pribumi-Nonpribumi, Anti asing-aseng, dan isu-isu sensitif lainnya.

Isu ini terkesan murahan dan tidak ilmiah. Tetapi memang dari semula tujuannya adalah begitu, yaitu menyasar kaum "makir" (malas mikir) Isu ilmiah memerlukan kajian mendalam agar bisa diimplementasikan, dan rawan didebat para ahli! Isu murahan tapi populer sangat menarik perhatian kaum "lemah jiwa" (tidak punya amunisi untuk berdebat) tetapi jumlahnya banyak ini.

Bagi "kaum waras" yang berpendidikan cukup, pemakaian isu-isu ini tentu saja sangat tidak masuk diakal karena terkesan anti teori, dan pasti tidak akan mendapat sambutan dari masyarakat. Bukankah jauh hari sebelum negeri ini merdeka, para pemudanya sudah mengikrarkan diri dalam sebuah "Kesatuan" bernama Sumpah Pemuda? Eh tiada disangka tiada dinyana, isu-isu berbau SARA dan Primodialisme ternyata masih mendapat tempat yang tinggi bagi sebagian masyarakat.

Perlahan tapi pasti out of the boxthe seriesala gabener ini telah membuat dua pemisahan kelompok pada masyarakat, bukan lagi menyangkut kepada pilihan sikap sebagai konsekwensi dari pembahasan soal topik yang dimunculkan itu, melainkan kepada pilihan setuju atau tidak kepada penggagas topik tersebut! Ini tentu saja sangat berbahaya! Perbedaan pandangan dalam menyikapi sesuatu bukanlah masalah besar, bahkan terkadang juga dibutuhkan untuk memperkaya wawasan kita untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

out of the boxthe seriesala gabener ini sebenarnya merupakan test the water untuk persiapan 2019. Reaksi dari seluruh lapisan masyarakat kemudian akan "dipetakan" dan dibuatkan kedalam sebuah "logbook" yang akan berguna kelak sebagai panduan untuk menyusun strategi pada 2019. Publikasi dari media bahkan cibiran dan umpatan dari para haters, justru menjadi semacam iklan gratis atau ajang promosi bagi gabener menuju perhelatan 2019 nanti.

Aksi "lucu" wak gabener ternyata juga menjadi semacam suplemen promosi tambahan bagi gabener. Nantinya kalau gabener sudah menuju Istana Merdeka, maka wak gabener bolehlah semakin berlucu-ria di Balai Kota....

Sepertinya kisah indah pada Pilkada kemarin ingin diulang kembali. Awalnya pasangan gabener ini disepelekan dan tidak dianggap, tetapi ternyata kemudian dengan strategi out of the box berhasil menjungkalkan pasangan petahana.

Test the water pertama sudah berhasil dilalui dengan memuaskan. Balai Kota sudah dalam dekapan. Istana Merdeka itu tidak jauh letaknya dari Balai Kota. Gabener juga ingin mengulang kisah pendahulunya itu, ngopi di Istana Merdeka setelah sebelumnya ngopi di Balai Kota. 

Kalau dulu Pakde harus blusukan dan bermandi keringat untuk menggapai Istana, maka gabener ini punya cara tersendiri selain ilmu retorika dan cuap-cuap tanpa keringat. Bagaimanakah caranya? Caranya adalah dengan terlebih dahulu "mengahokkan" petahana itu....

Salam hangat

Reinhard Hutabarat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun