Kemarin itu terjadi perkelahian antara bang Rozali dengan Wan Abut, seorang pedagang pakaian di Tanah Abang. Sebelumnya bang Rozali membeli sebuah celana merk Lefis dari Wan Abut. Singkat cerita, setelah dicuci ternyata celana Lefis tersebut luntur, padahal celana tersebut bergaransi tidak luntur! Akibatnya bang Rozali marah dan menuntut Wan Abut telah melakukan penipuan dan penistaan terhadap nilai-nilai kebusanaan!
Namun Wan Abud berkilah. Kalau celana Le'vis memang betul datangnya dari negeri "mustang," Amrik. Akan tetapi celana Lefis itu datangnya dari negeri "onta," Arab Saudi. Jadi tulisan garansi itu harap dibaca dari belakang, "Luntur tidak ditanggung...."
***
Kemarin itu juga Pak Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai ide hendak membangun kue lapis, eh rumah lapis bagi masyarakat jelata yang bermimpi bisa membeli rumah dengan depe nol persen. Jutaan kaum proletar yang berharap bisa memiliki sebuah partai idaman, eh rumah idaman, harap-harap cemas menunggu penjelasan lebih lanjut dari Gubernur.
Setelah Pak Gubernur menjelaskan "berpusing-pusing tujuh keliling," kesimpulan akhirnya adalah, ternyata rumah lapis itu sama saja dengan rusun! Catat, rusun bukan rasun alias rantang bersusun! Tapi "Lain padang lain belalangnya." Walaupun duo sehati, Pak Gubernur dengan Wakil Gubernur berbeda rasa soal lapis-melapis ini.
Menurut Sandiaga, rumah lapis merupakan konsep rumah yang berbentuk vertikal, tapi bukan rumah susun seperti yang dibangun selama ini. "Konsepnya adalah lapis 1, lapis 2, lapis 3. Itu yang menurut kami harus digunakan vertikal. Jangan dibayangkan 16 lantai, ini lebih cocok dengan ekosistem masyarakat yang aktif mengusulkan ingin ditata." Demikian pernyataan Sandiaga di Cipete, Jakarta Selatan, Minggu 5 Nopember 2017 lalu. (Baca)Â
Esoknya, Senin 6 Nopember 2017, bertempat di Balai Kota, Sandiaga menjelaskan sekali lagi bahwa rumah lapis yang dimaksud adalah penataan kampung dengan konsep hunian bertingkat, tapi berbeda dengan rusun. "Kalau rumah susun bisa sampai lantai 16. Kalau ini penataannya yang sesuai dengan kemauan warga. Rumah (lapis) itu yang intensitasnya rendah, dibawah 8 lantai." kata Sandiaga lagi.
Ada yang paham dengan uraian Wakil Gubernur ini? Saya terus terang gagal paham, terutama menyangkut frasa "ekosistem masyarakat!"
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ekosistim adalah,
1. Keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam.
2. Komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya.
3. Keadaan khusus tempat komunitas suatu organisme hidup dan komponen organmisme tidak hidup dari suatu lingkungan yang saling berinteraksi
Merujuk kepada KBBI, sepertinya frasa ekosistim ini tidak nyambung dengan frasa "ekosistem masyarakat" Sandiaga. Bahkan terkesan kurang sopan, karena menurut KBBI poin 2, ekosistim adalah Komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya. Ah, kalau disamakan dengan hewan, biarpun depenya nol persen, pasti tidak ada warga yang mau tinggal di rumah lapis....
Mungkin maksud Wakil Gubernur, ekosistem masyarakat itu adalah komunitas masyarakat. Nah kalau ini baru betul bos...
***
Lalu seperti apa kira-kira ya konsep rumah lapis ini? Mari kita hitung bersama.
Menurut Sandiaga rumah lapis ini dibawah 8 lantai. Anggap saja 7 lapis.
Harga tanah mentah rata-rata Rp 30 juta/m2. Dari luas tanah yang ada, anggap yang bisa dipakai 50%, karena sisanya akan dipakai menjadi jalan, taman dan fasum/fasos lainnya.
Harga tanah matang (untuk bangunan) berarti Rp 30 juta/m2 X 50% yaitu Rp 60 juta/m2
Karena rumah lapis ini direncanakan 7 lantai, maka harga tanah untuk setiap rumah lapis adalah Rp 60 juta/m2 dibagi 7 lapis, yaitu Rp 8,571 juta/m2. Biaya konstruksi dan fasum anggap Rp 10 juta/m2. Maka biaya total adalah Rp 8,571 juta/m2 ditambah Rp 10 juta/m2, yaitu Rp 18,571 Â juta/m2.
Kalau rumah idaman itu type 30 dengan luas 30 M2, maka biaya untuk satu unit rumah lapis idaman itu adalah 30 M2 X Rp 18,571 juta/m2 = Rp 557,142 juta/unit.
Kalau DP 0%, lalu rumah lapis itu dicicil selama 10 tahun, maka cicilannya akan berkisar Rp 8 juta/bulan.
Merujuk pada norma yang berlaku, pembayaran cicilan maksimum kredit itu adalah 30% dari pendapatan, maka penghasilan bulanan penghuni rumah lapis itu adalah Rp 8 juta/30% atawa Rp 26,666 juta/bulan!!!
Jadi kalau anda mau tinggal di rumah lapis, maka anda harus bergaji sekitar Rp 27 juta/bulan!
Lantas bagaimana dengan nasib orang-orang seperti saya yang berpenghasilan setara UMR?
Hadeh.. ini bener-bener ga bener nih Gabener...
Saya yang tadinya sudah seneng, terpaksa harus menelan ludah. Tapi tunggu dulu. Rumah lapis ini kan bukan ide lokal atau dari Amrik! Dalam bahasa lokal rumah lapis itu dibaca rusun, dalam bahasa Amrik dibaca apartemen. Dua-duanya dibaca dari kiri ke kanan dan "Ditanggung tidak luntur!" Dalam bahasa Ahok, rusunnya itu "Ditanggung tidak bohong!" karena memang benar-benar berwujud!
Rumah lapis ini datangnya dari negeri onta. Jadi bacanya "Luntur tidak ditanggung" atau "Bohong tidak ditanggung!" Jadi jangan coba-coba marah kepada penggagasnya. Tetapi silahkan juga bermimpi mendapat rumah lapis dengan depe nol persen. Mudah-mudahan nanti pas Lebaran kuda sudah bisa menikmati rumah lapis tersebut....
Salam hangat
Reinhard Freddy Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H