Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik "Pribumi"

18 Oktober 2017   20:53 Diperbarui: 18 Oktober 2017   20:57 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Bisnis Tempo - Tempo.co

Setelah berjuang tanpa kenal lelah memasang perangkap "Ayat dan mayat" dalam drama perebutan kursi Balai Kota, Akhirnya pasangan Anies-Sandi resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru. Sialnya, pada hari pertamanya menjabat gubernur, Anies sudah langsung di "Ahokkan" para netizen yang tidak menyukainya, yang bisa dipastikan adalah para Ahokers!

Sama halnya ketika Ahok "terselip lidah" pada drama ayat di Pulau Pramuka, Anies juga "terselip lidah" dengan menyebut kata "pribumi" dalam pidato pelantikannya sebagai gubernur. Apakah menyebut kata "pribumi" merupakan suatu tindakan ilegal atau asusila di negeri ini? Pertanyaan mudah ini bisa menjadi rumit dan memicu kegaduhan, tergantung sudut pandang dan kepentingan dari sipenanya dan sipenjawab!

Apakah "isu pribumi" ini merupakan serangan balasan dari Ahokers kepada Anies? Sepertinya memang iya! Ketika Ahok menjabat gubernur DKI, semua serangan (mulai dari yang tidak masuk diakal sampai yang terkesan akal-akalan) tertuju kepada Ahok. Semua serangan itu tujuannya adalah agar Ahok bisa lengser keprabon dari kursi DKI.1.  Ahok memang sudah lengser, bahkan kini mendekam dalam penjara di Mako Brimob.

Kini arah angin sudah berbalik. Anies lah kini yang menjabat kursi panas gubernur DKI itu! Dan kini semua serangan akan tertuju kepadanya. Serangan itu bahkan sudah dimulai sebelum Anies berangkat tidur keperaduannya sebagai seorang Gubernur DKI yang baru...

Apakah serangan dari netizen itu bertujuan untuk melengserkan Anies? tentu saja tidak! Para haters Anies hanya ingin agar Anies bisa merasakan "bara panas" dari kursi Gubernur DKI itu...

***

Terlepas dari serangan netizen terhadap isu "pribumi" tersebut, memang menarik mencermati kata "pribumi" ini ditinjau dari track record Anies selama ini, Manajemen kerja Gubernur DKI yang baru, dan konstelasi politik Indonesia kedepan.

Mari kita cermati uraiannya dibawah ini.

Pertama, track record Anies

Kalau ada raja kepret, maka ada juga raja retorika, yaitu Anies Baswedan! Saya sering mengikuti pidato/orasi Anies dalam rangka kampanye cagub DKI kemarin. Tidak ada ide baru dari Anies yang realistis untuk dilaksanakan. Idenya itu tampak seperti pepesan kosong yang "sedap ditelinga" tetapi susah untuk diwujudkan (misalnya rumah DP 0%)

Apakah Anies "terselip lidah" dalam menyebut kata "pribumi" ini? Jawabannya memang bisa subjektif. Tetapi dalam sudut subjektivitas juga saya mengatakan tidak! Berkaca pada kasus "ayat dan mayat," pemakaian kata "pribumi" ini memang sudah direncanakan dan diatur sedemikian rupa. Anies bukanlah orang bodoh! Dia seorang profesor, Phd dibidang Politik, mantan Rektor dan juga mantan Menteri pendidikan dan Kebudayaan.

Para pemilih Anies-Sandi pada Pilkada lalu tentu saja sudah tak sabar ingin mendengar pidato pertama dari gubernur baru mereka. Anies lalu menyelipkan kata "pribumi" ini dalam pidato pertamanya demi memuaskan hasrat penggemar "ayat dan mayat" ini...

Jadi pidato pertama ini juga memang untuk meraih simpati dari para fans yang sudah memilih mereka pada Pilkada yang lalu.

Apakah Anies seorang rasis? Saya pikir tidak! Justru sebagian dari masyarakat kitalah yang "sakit" dan rasis! Tetapi yang jelas Anies memang telah memakai isu rasis ini untuk kepentingan politiknya. Anies berhasil memanfaatkan dan mengeksploitasi "orang-orang sakit" ini untuk memilihnya dalam Pilkada kemarin. Oke lah segala sesuatu yang kemarin itu hanyalah untuk perhelatan Pilkada saja, dan tidak usah ditanggapi secara pribadi. Pilkada sudah berlalu dan sudah ada gubernur yang baru. Jadi sebaiknya semua warga bersiap untuk move-on...

Akan tetapi ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Anies jugalah yang justru memulai lagi "kegaduhan baru" disaat semua warga mencoba untuk bersatu lagi. Kegaduhan baru ini adalah awal dari kegaduhan-kegaduhan lain yang akan dilakukan Anies lewat pidato/orasinya kelak, karena itulah "senjata utamanya" sebagai seorang pejabat gubernur DKI yang baru...

Kedua, Manajemen Pemerintahan

Apa yang telah dilakukan Ahok kemarin ketika menjabat Gubernur DKI memang sangat fenomenal. Entahlah, apakah Ahok mampu melakukan lebih baik lagi kalau diberi kesempatan sekali lagi untuk memimpin DKI. Saya tidak ingin bermaksud suudzon. Akan tetapi saya tidak yakin (saya rasa Anies juga) apakah Anies mampu menandingi pencapaian yang telah ditorehkan Ahok itu!

Sebenarnya Anies-Sandi tidak perlu pusing. Program kerja Ahok itu sudah sangat bagus, dan warga juga sudah menikmatinya. Jadi Anies tinggal meneruskan saja. Sudah, itu saja, dan warga pasti akan sangat senang. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Anies tidak akan sudi disebut hanya "seorang pengekor" saja, dan dianggap tidak berbuat apa-apa. Jadi retorika ini akan terus berlangsung selama Anies menjabat gubernur DKI. Nah karena ingin tampil beda dari Ahok itulah, takutnya program lama yang sudah bagus itu malah diacak-acak lagi...

Dalam manajemen SDM Ahok, pegawai yang berkompeten pasti akan mendapat promosi, sedangkan pegawai yang nakal akan tersingkir. Semua proses seleksi dilakukan secara transparan, dan tidak ada tempat bagi para penjilat! Saya khawatir nantinya akan terjadi friksi diantara pegawai. Kalau bos terlalu banyak retorika, maka para penjilat pantat akan tumbuh subur. Akhirnya pegawai yang tidak "mendapat meja," kerjanya datang pagi untuk absen, lalu kabur atau ngobrol di kantin. Sore absen, lalu pulang.....

Ketiga, Konstelasi Politik Indonesia kedepan

Balai Kota DKI itu tak jauh dari Istana Negara. Tidak percaya? Tanyalah kepada Jokowi, karena dia telah melakukannya! Apakah salah kalau Anies kepingin juga mengikuti jejak mantan bosnya itu? Tentu saja tidak. Masalahnya ada pada soal etika! Dulu Jokowi melakukannya disetengah perjalanannya menjabat gubernur. Anies melakukannya pada saat dia belum "menduduki kursi gubernur DKI itu!"

Luas wilayah DKI Jakarta hanya sekitar 661,52 km2 dengan penduduk asli suku Betawi. Jadi wilayah pekerjaan Anies itu memang tidak luas. Ketika Anies mengutip peribahasa dari berbagai daerah seperti Minahasa, Madura dan Batak yang jaraknya ribuan km dari Jakarta, dan tak ada urusannya sama sekali dengan pelantikan gubernur DKI Jakarta, itu jelas merupakan sebuah "kode" (tentu saja bukan kode buntut atau togel) untuk "menyapa" Nusantara dalam konteks konstelasi 2019.

Apakah ada yang salah dengan menyapa Nusantara? Tentu saja tidak. Masalahnya lagi-lagi terletak pada soal etika! "Tentu saja tak elok dipandang mata membahas rumah-rumah tetangga satu Kelurahan pada saat baru memasuki rumah sendiri!"

Tetapi balik lagi kebelakang, memangnya etika hadir pada masa kampanye kemarin...?

Tetapi apapun itu, dari sudut pandang Ahokers, Anies akan mengalami apa yang sudah dialami oleh Ahok, yaitu di "Ahokkan!" Kalau omongan yang benar saja bisa diplintir orang berbuah hoaks, apalagi kalau omongan yang ngawur! Dan kini giliran Anies yang akan "menikmati" serangan beruntun dari warga yang sekedar iseng atapun warga yang tak suka kepadanya.

Selamat datang Pak Gubernur....

Salam hangat

Reinhard Freddy Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun