Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nilai Politis Seorang Novel Baswedan

6 Agustus 2017   19:03 Diperbarui: 7 Agustus 2017   17:35 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : suara.com

Entah mengapa pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan ini seperti menangkap belut yang berada di dalam septic-tank yang beisi oli bekas. Seharusnya BAP (Berita Acara Pemeriksaan) nya sudah selesai. Akan tetapi sampai sekarang pun belum ada titik terang, bahkan hanya untuk memulai pemeriksaan saja!

Jelas sudah urusan Novel ini tidak lagi urusan "Pro justitia" semata, tetapi sudah merembet ke ranah kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Sebelumnya saya telah menulis soal Novel di sini.

Akan tetapi saya terpaksa harus merevisinya lagi terkait kepentingan strategis tarik-menarik antara pemerintah, KPK, Polisi, DPR dan pihak-pihak lainnya, dengan Novel berada ditengah pusaran tersebut (Entah Novel menyadarinya atau tidak!)

Apa saja kepentingan tersebut, mari kita coba teliti satu persatu,

Pertama, KPK

Saat ini KPK dalam posisi tertekan, dan itu sangat wajar. Sama seperti Novel, KPK itu memang dibenci, dan kalau boleh dibubarkan lalu dienyahkan ke luar planet bumi ini! Kalau ada aparatur negara (termasuk kepolisian, kehakiman dan kejaksaan) yang sayang kepada KPK, jelas dia berbohong atau terlalu pandai berbohong... Posisi KPK saat ini semakin tertekan akibat pansus Hak angket KPK ngotot ingin mengadili KPK lewat "peradilan politik!" Kini KPK berpacu dengan waktu untuk memanggil warga Senayan tersebut (pertama sebagai saksi dulu) lewat persidangan kasus e-KTP yang sedang berlangsung sekarang ini.

"Tidak ada gading yang tak retak!" termasuk juga dengan KPK! Tentulah dalam pelaksanaan tugasnya, mereka ada melakukan kesalahan atau kealpaan. (Secara pribadi saya percaya sepenuhnya kepada KPK) Lazimnya proses penyelidikan dan penyidikan (berlaku juga bagi aparat KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Militer, Inspektorat) tentulah ada SOP (Standard Operating Prosedure) tersendiri, yang terkadang terkesan melanggar HAM. Akan tetapi "mana ada maling yang mau mengaku kalau tidak dipaksa!" Dalam kasus-kasus terorisme misalnya, faktor antisipatif menjadi kunci utama untuk mencegah terjadinya ledakan sebuah bom.

Misalnya ada seseorang yang terlihat mencurigakan membawa beberapa panci. Polisi lalu menyergapnya dan mencengkram kedua tangannya kesamping. Ternyata tidak ditemukan bom diantara panci yang dibawanya! Warga yang berada disekitar lalu marah kepada polisi yang tidak becus itu. Pemilik panci tadi, dengan tangan kesakitan lalu memaki polisi sambil berteriak, "bomnya bukan disitu bodoh, tapi disini!" Dia lalu membuka celananya dan meraih kolornya, "take a beerrr... Darr!!!" Lalu sebuah high explosive meledak! Ternyata dia seorang pengantin bom kolor, bukan bom panci....

SOP KPK itulah (penyadapan, umpan, penyergapan dan lain sebagainya) yang ingin dibuka oleh Pansus KPK. Warga Senayan itu tersinggung dengan cara-cara KPK memperlakukan para koruptor. Karena mereka itu ada yang ditangkap pada tengah malam, ketika berduaan dengan selingkuhan, bahkan ketika sedang menghitung duit bancakan! Jadi kini gantian. DPR ingin menelanjangi KPK lewat peradilan politik! Jadi bagi KPK, momen kasus Novel Baswedan ini terasa pas dipakai menjadi perisai perlindungan KPK dari "siraman air...DPR, karena Novel Baswedan adalah KPK juga!

Kedua, Polisi

Pemeriksaan kasus Novel ini untuk dibuatkan dalam sebuah BAP terkendala. Kemarin Novel mengatakan ada jenderal di belakang kasusnya, dan dia ingin kasus ini diperiksa oleh tim gabungan polisi dan KPK. Secara pribadi saya tidak sependapat. Terlepas dari benar tidaknya ada jenderal, ini adalah ranah pidana urusan polisi bukan KPK! Sebagai seorang warga negara dan aparat negara, Novel seharusnya bekerja sama untuk membuat BAP sesuai dengan kondisi sebenarnya untuk mempermudah pengungkapan kasus ini.

Saya pribadi tidak selalu sependapat dengan tindakan kepolisian. Akan tetapi pada kasus Novel ini, Polisi dalam posisi terjepit. BAP saja belum ada karena Novel tidak mau. Tetapi sebagian masyarakat dan "kaum sebelah" telah memojokkan polisi terkait "isu jenderal Novel tadi" Ini kan sungguh tidak adil! Sebaiknya semua pihak bekerja sama membantu polisi, barulah sesudah itu boleh menilai rapor polisi ini. Diatas sudah disebutkan bahwa polisi pun tidak suka pada Novel, walaupun dia adalah mantan polisi! Tetapi ini urusannya bukan suka atau tidak suka, tetapi pengungkapan kasus, tugas profesional yang harus dikerjakan! Jadi sekalipun Novel tidak suka, dia harus membantu polisi dalam rangka menjaga sikap profesionalismenya sendiri.

Baru-baru ini Polri juga berencana untuk membentuk Densus Anti Korupsi. Kuat dugaan Densus ini akan dipakai untuk memperkuat nilai tawar Polri di hadapan KPK! Alasannya adalah polisi itu mempunyai jaringan dan personil sampai wilayah terpencil, sementara personil KPK terbatas jumlahnya. Dengan begitu, tangkapan kecil menjadi urusan polisi, sedangkan tangkapan besar sepenuhnya milik KPK. Untuk hal ini saya pribadi kurang setuju. Kini KPK semakin ganas saja menangkap "recehan" kelas Kades di daerah "yang ada polisinya" (artinya polisi daerah "tidak tahu" ada kasus di wilayah hukumnya sendiri!) Pembentukan Densus ini juga sepertinya sebagai langkah antisipatif sekiranya lembaga ad hoc anti rasuah ini benar-benar dibubarkan.

Ketiga, DPR

Lamanya Pemeriksaan kasus Novel ini jelas mengganggu proses persidangan politik KPK! Ini terkait empati masyarakat terhadap kasus Novel ini. Tidak sedikit juga masyarakat yang menghubungkan kasus ini dengan e-KTP. Tentu saja ini bukan kabar bagus buat DPR, karena sidang politik terhadap KPK itu tetap membutuhkan simpati dari masyarakat juga. Jadi walaupun DPR ingin kasus Novel ini cepat diungkap, tetapi mereka terpaksa harus bersabar menunggu perkembangan selanjutnya....

Keempat, pemerintah.

Suka tidak suka, enak tidak enak, selalu ada pemerintah di pihak terakhir yang menjadi "penikmat" dari setiap atraksi yang terjadi di panggung politik tanah air. Kemudahan akses pemerintah ke semua lini para "akrobatik politik," selalu membawa keuntungan bagi pemerintah untuk menekan pihak oposan. Dari semula pemerintah sepertinya memang tidak mau mengintervensi kasus ini. Dalam perjalanannya kasus kriminal ini kemudian bergelinding menjadi bola liar yang tidak terkendali dan bisa mengenai siapa saja kecuali "kaki pemerintah!"

Dalam bahasa politik, tidak ada kawan maupun lawan abadi, yang ada hanya kepentingan! Bola liar kini menggelinding dan bisa menimpa siapa saja, Jenderal (polisi) DPR, atau bahkan Oposisi yang dipersonifikasikan sebagai maling koruptor pembenci KPK! Kasus Novel (politik) ini memang pelik karena BAP-nya juga belum dibuat, dan orangnya gak mau....

Salam hangat,

Reinhard Freddy Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun