Kasus penyerangan dengan air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan sudah berjalan memasuki bulan ketiga. Akan tetapi kasus tersebut masih tetap menyimpan misteri mengenai motif penyerangan, pelaku dan dalang dibalik kasus penyerangan itu sendiri. Setelah berjalan dengan senyap selama dua bulan, kasus ini kemudian seketika meledak seperti bom panci ketika Novel mengatakan bahwa ada seorang jenderal yang terlibat dalam kasus penyerangan terhadap dirinya tersebut, dalam sesi wawancara dengan sebuah media asing di Singapura,
Sontak pernyataan Novel tersebut membuat instansi kepolisian dan KPK tempat Novel bekerja "kebakaran jenggot!" KPK dan Polri lalu bereaksi dengan cepat dan melakukan rapat kerja sama yang langsung dipimpin oleh pemimpin tertinggi kedua instansi penegak hukum tersebut. Walau bagaimanapun, pernyataan Novel tersebut telah menimbulkan kegaduhan baru terkait spekulasi kehadiran jenderal tersebut dalam kasus ini. Untungnya sang jenderal tersebut, tidak langsung membuat Hak angket KPK, dimana tujuannya bukan untuk memperlemah, tetapi adalah untuk memperkuat posisi Novel sebagai penyidik KPK...........
Kita memang harus berhati-hati dalam menyikapi polemik kasus ini agar tidak terseret kepada hal-hal yang justru akan semakin menimbulkan kegaduhan baru. Kita juga harus menyikapi kasus ini dalam lingkup persoalan hukum yang komprehensif, termasuk juga dampak psikologis yang terjadi pada Novel akibat dari penyerangan tersebut, tanpa perlu mengkaitkannya dengan kepentingan-kepentingan politik praktis.
Saya ingin menyikapinya dari beberapa perspektif yang berbeda menurut kepentingannya.
Pertama, penyerangan terhadap Novel.
Pertanyaan pentingnya adalah, mengapa Novel diserang dengan air keras? Mengapa tidak ditembak secara dekat atau lewat sniper misalnya. Mengapa juga tidak ditikam dengan pisau atau disabet dengan golok? Tentu ada makna psikologis dibalik pemilihan media untuk melakukan penyerangan tersebut.
Penyerangan tersebut jelas bukan untuk membunuh Novel! Penyerangan tersebut jelas untuk "melukai Novel secara fisik dan mental secara permanen!" Penyerangan tersebut juga adalah sebuah "pertanda/peringatan" bagi Novel dan juga bagi orang-orang seperti Novel! Sang dalang jelas punya keterikatan emosional yang mendalam dengan Novel. Penyerangan ini memang bersifat pribadi, dengan kebencian yang sangat kuat.
Selain makna psikologis, pemilihan air keras ini juga mempunyai makna penting terkait untuk "mengaburkan" barang bukti. Senjata api jelas bisa dilacak, apalagi kalau senjata organik/Non organik. Walaupun sedikit lebih sulit, akan tetapi senjata rakitan juga tetap membutuhkan peluru yang mustahil dirakit sendiri. Polisi pasti bisa menyelidiki asal muasal peluru tersebut lewat kaliber dan proyektil dari peluru tersebut.
Pemakaian senjata tajam (pisau atau golok) jelas kurang efektif untuk mengaburkan sang dalang dalam kasus ini. Pemakaian sajam oleh pelaku biasanya selalu dalam keadaan "open play" tanpa berusaha menutupi identitas sipelaku. Hal ini dapat kita lihat seperti dalam kasus tawuran antar warga, Ormas, ataupun pembunuhan berencana dengan sajam misalnya. Hampir selalu polisi dapat dengan mudah mengungkap kasus penyerangan dengan sajam apabila pelakunya adalah preman atau pembunuh bayaran. Semuanya itu berkat informan-informan polisi yang memang juga adalah para preman yang banyak berkeliaran di jalanan.
Ini sama seperti kasus penangkapan narkoba. Ada tekab yang bisa mengendus dan kemudian menangkap seorang driver ojek sepeda yang menyebunyikan sabu di dalam ban sepedanya. Buset itu tekab! Ternyata driver ojek tersebut adalah seorang kurir narkoba yang delivery sabunya lewat sepeda tersebut! Apakah penciuman tekab tersebut memang melebihi penciuman seekor K-9 (anjing pelacak)? Tentu saja tidak! Sebab bau tetangganya sendiri pun tidak bisa diendusnya dari dekat! Polisi bisa mengetahuinya hanya berkat bantuan informan yang kebetulan juga adalah kurir narkoba yang omset dagangannya anjlok gegara driver ojek sepeda "KW sialan" tersebut!
Demikian juga halnya dengan kasus Novel ini. Seandainya Novel diserang dengan sajam oleh seorang profesional, maka polisi akan dapat mengetahuinya. Hal itu otomatis akan mengungkap sang dalangnya juga. Polisi tentu saja punya daftar lengkap "tukang tikam" dari setiap RT/RW/Kelurahan maupun tingkat AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) Polisi juga akan selalu mengetahui siapa-siapa saja dari mereka yang baru dapat orderan...
Menyewa amatir melakukan pekerjaan ini tentu saja akan sangat berbahaya. Misalnya saja, ketika para amatir itu hendak menikam Novel dari motornya. Ternyata Novel kemudian bersin yang kemudian mengenai muka sipelaku! Sipelaku kaget kemudian melap mukanya. Tapi kemudian pisaunya malah mengenai punggung temannya yang mengendarai motor. Naas merekapun lalu terjatuh. Lalu digebukin warga karena mereka diteriakin Novel, maling! Mereka lalu menangis minta ampun, "tolong pak... tolong... kami bukan maling bukan begal. Kami ini pembunuh bayaran suruhan seorang jenderal......"
Kedua, Motif penyerangan.
Ini memang pertanyaan sulit. Bukan karena tidak ada jawabannya, tetapi justru karena daftar "jawabannya terlalu banyak, sehingga sulit untuk mencocokkan mana yang benar-benar pas!" Daftar nama "haters" Novel beserta kroni-kroninya sangat banyak, dan semuanya bisa dimasukkan kedalam motif penyerangan Novel. Novel memang termasuk kategori "orang tengil!" Itu memang hal yang wajar mengingat dia adalah seorang penyidik KPK. Sifat tersebut memang sudah diwarisinya sejak dari kepolisian, tempat Novel menimba ilmu sebelumnya.
Siapa saja haters Novel itu? Dalam koridor hukum, tentu saja kita akan mengkaitkannya dengan kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Novel. Ada kasus penembakan terhadap pencuri sarang walet (ketika itu Novel masih bertugas di kepolisian) Ada kasus dengan mantan boss Novel di kepolisian, yaitu BG, yang ditangkap oleh Novel. Namun kasus itu kemudian mental lewat skenario praperadilan. Para napi-napi korupsi yang kini mendekam di Lapas, adalah pembenci-pembenci Novel! Bahkan para anggota pansus Hak angket KPK yang mengunjungi Lapas Sukamiskin kemarin itu adalah termasuk haters Novel juga....
Ketiga, Kinerja Kepolisian.
Ini memang situasi yang sulit bagi kepolisian. Tidak semua kasus bisa diungkap dengan cepat. Sebagian memang karena dilakukan oleh orang-orang yang sangat profesional. Sebagian lagi karena memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk menguraikan persoalannya dulu, agar bisa menemukan jawaban yang lebih komprehensif. "Tidak ada gading yang tak retak" Dalam kasus ini, polisi memang diuji kesabarannya. Terkadang setelah beberapa lama waktu berlalu, sipelaku maupun sang dalang yang lalai, kemudian bisa saja meninggalkan sepotong petunjuk yang dapat dipakai untuk mengungkap kasus tersebut.
Ada yang mengatakan polisi tidak serius menangani kasus ini, dan melakukan "tebang pilih" dalam menangani kasus-kasus tertentu. komentar seperti ini adalah pernyataan spekulatif dengan tujuan politik praktis. Polisi sudah bekerja keras dan akan selalu begitu untuk mengungkap kasus ini. Bukan saja demi penegakan hukum, tetapi juga demi gengsi korps dan tantangan pribadi untuk "menaklukkan" kasus ini.
Keempat, Isu Jenderal.
Ini memang situasi yang sulit bagi Novel dan keluarga. Kondisi fisik dan mentalnya memang benar-benar drop!Tapi itulah tujuan sebenarnya dari penyerangan itu! Novel yang dalam keadaan sekarang bukanlah Novel yang kemarin! Itulah sebabnya saya pribadi tidak ingin berspekulasi menilai komentar Novel terkait isu Jenderal tersebut, karena yang berbicara bukanlah Novel sebagai seorang penyidik KPK, melainkan adalah Novel sebagai seorang pasien yang tidak dapat melihat dengan jelas....
Novel jelas tertekan, dan kecewa kepada kinerja polisi dan KPK yang "dianggapnya" tidak serius menangani kasusnya ini. Dalam kondisi mental begini, sikap Novel itu adalah sesuatu yang terasa wajar. Fokus utama Novel saat ini adalah bagaimana caranya agar dia bisa melihat kembali secara normal sama seperti sebelumnya. Akan tetapi, tim dokter juga tidak bisa menjamin keinginannnya tersebut. Hal ini jelas menimbulkan konflik batin yang hebat....
Lalu ada pengamat hukum yang berkata, "Novel adalah seorang penyidik KPK yang paling top. Lalu mengapa dia berbicara dengan wartawan asing perihal Jenderal ini? Mengapa tidak dibuatkan dalam BAP saja, agar semuanya bisa terang benderang....?"
Yah namanya juga pengamat yang "jualannya hanya cuap-cuap saja", gak pake mikir apalagi sampai merenung dulu sebelum berbicara. Bagaimana bisa "terang benderang" kalau tidak bisa melihat dengan jelas. Mens sana in corpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula....
Salam damai buat Novel, semoga cepat sembuh dan tabah menghadapi segala cobaan...
Reinhard Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H