Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radio dan Edukasi Bencana

14 Juni 2017   10:00 Diperbarui: 14 Juni 2017   10:10 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari berbagai media yang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan dan hiburan, radio selalu mendapat tempat yang istimewa dihati masyarakat. Masa kejayaannya jelas tidak seperti lima puluh tahun yang lalu misalnya. Akan tetapi radio selalu akan dicari para penggemar, umumnya ketika mereka sedang berkendara di mobil. Bagi sebagian orang, radio menjadi teman setia untuk belajar maupun teman pengantar tidur...

Beberapa dekade yang lalu ketika jumlah saluran dan jangkauan siaran televisi masih terbatas, radio menjadi sarana utama informasi yang tercepat dan efektif sesudah surat kabar. Seiring perjalanan waktu, semuanya kemudian berubah. Kini televisi dan kemudian media sosial yang lebih berperan menyampaikan informasi kepada masyarakat, walaupun radio masih tetap mendapat tempat dihati penggemarnya.

Ketika kemudian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan budaya siaga bencana melalui radio, tentu saja pilihan tersebut tidaklah salah. Ada beberapa pertimbangan yang dapat menjadi rujukan untuk melakukan edukasi melalui radio.

Pertama, Umumnya ketika berkendara dengan mobil, warga masyarakat selalu meyalakan radio. Baik untuk sekedar mendengar lagu favorit mereka, maupun untuk mendengar informasi-informasi penting terkait kemacetan, penyempitan jalan, aksi demo, tabrakan lalu-lintas maupun bencana yang diakibatkan alam, seperti misalnya pohon tumbang ataupun jalan longsor.

Jadi ketika BNPB melakukan sosialisasi untuk meningkatkan budaya siaga bencana melalui radio, hal itu memang sudah sangat tepat. Yang penting BNPB mampu menata clip acara sosialisasi tersebut dengan menarik, dan durasinya tidak perlu terlalu lama. Sebab kalau terlalu lama, pemirsa biasanya akan segera mengganti saluran radio. Durasi yang tepat mungkin sekitar satu menit per clip dengan gaya “easy listening” yang memikat hati. Pemilihan gaya berbicara dan bahasa yang lebih “membumi” tentu akan lebih memudahkan pemirsa untuk menangkap pesan sosialisasi dari BNPB tersebut.

Kedua, untuk saat sekarang ini, radio termasukmedia terpercayainformasinya. Hampir tidak pernah orang mempertanyakan integritas berita dari sebuah radio! Kita tentu saja mengenal “koran kuning,” koran abal-abal dan koran corong pihak tertentu. Demikian juga halnya televisi dengan aneka acara yang sungguh tidak masuk diakal, yang selalu dipenuhi dengan drama “air mata.” Televisi berita juga tak kalah mirisnya. Beritanya tendensius, tidak berimbang dan hanya menyuarakan kepentingan pemiliknya saja.

Medsos jauh lebih parah lagi. Informasinya jauh dari kesan baik, malahan cenderung menyesatkan. Akibatnya masyarakat pembaca menjadi ragu dan bahkan bingung dalam menanggapi sebuah informasi yang dibacanya. Sebaiknya memang, BNPB tetap memakai semua media untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan budaya siaga bencana ini. Akan tetapi radio tetaplah menempati urutan pertama dalam kepercayaan publik terhadap sesuatu informasi.

Ketiga, dimasa lalu sandiwara radio berhasil memikat hati masyarakat seperti misalnya Serial Saur Sepuh. Tentu saja atmosfir tiga dekade yang lalu itu tidak sama lagi dengan masa sekarang ini. Ketika itu masyarakat memang tidak memiliki banyak opsi dan daya untuk memilih acara hiburan bagi mereka. Jadi ketika itu radio memang merupakan sarana hiburan utama selain daripada acara televisi.

Tentu saja tidak ada salahnya jika BNPB mencoba sosialisasi siaga bencana lewat sebuah sandiwara radio. Kunci utama kesuksesan sandiwara ini tentu saja kalau sandiwara itu mampu mengakomodasi kepentingan pemirsanya. Tentu saja “tidak ada satupun obat yang manjur untuk menyembuhkan semua penyakit!” BNPB harus menetapkan target (sasaran) pemirsa yang hendak dituju, barulah menyusun sandiwara yang pas untuk didengar pemirsa yang dituju tersebut.

Lazimnya seperti kudapan yang dikemas dengan gaya “eye catching,” sandiwara ini juga akan mampu menuntaskan misinya untuk mensosialisasi siaga bencana jika dikemas dengan baik! Mencari waktu yang tepat untuk penayangan sandiwara ini juga menjadi salah satu kunci kesuksesan sandiwara ini kelak. Jika penayangannya pagi hari, jelas sasaran yang dituju adalah kaum ibu yang mendengar radio sambil memasak atau membereskan urusan rumah tangga.

Jika malam hari, tentu range pemirsa yang dituju akan semakin luas. Karena BNPB bekerja sama dengan beberapa radio dalam satu kota, mungkin ada baiknya penyiaran sandiwara ini berbeda-beda waktunya untuk beberapa radio tersebut. Misalnya ada penayangan pada pagi hari, maupun pada malam hari.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun