Drama hijrahnya ISIS (Islamic State of Iraq & Syria) dari “Tanah suci” menuju kawasan Asia Tenggara ternyata bukan hanya isapan jempol semata. Prolog drama itu sudah dimulai dengan monolog pembuka oleh kelompok Abu Sayyaf dan kelompok Maute ketika menyerang aparat keamanan dan penduduk sipil di Marawi, Filipina Selatan pada Selasa 23/05/2017 lalu. Serangan itu kemudian membuat puluhan ribu penduduk kota pusat Muslim Filipina tersebut mengungsi karena takut ditembak oleh militan ISIS.
Juru bicara militer Filipina, Brigjen Restituto Padila mengatakan enam milisi asing, antara lain dari Indonesia dan Malaysia tewas dalam pertempuran. Padila mengatakan 11 orang tentara, 2 orang polisi dan 31 orang milisi tewas dalam pertempuran ini. Pertempuran pecah setelah militer Filipina menggebrek satu rumah yang diyakini sebagai tempat persembunyian Isnilon Hapilon, komandan kelompok Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan ISIS. Namun militer Filipina kemudian disergap oleh milisi. Pertempuran sengit pun kemudian pecah yang melebar hingga di beberapa titik kota.
Dalam penyisiran usai bentrokan tersebut, militer Filipina kemudian menemukan sebuah paspor WNI atas nama, Al Amin yang dikeluarkan oleh Imigrasi Tasikmalaya. Namun kabar ini masih belum bisa dikonfirmasi oleh pihak berwenang, demikian penjelasan dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Jumat 26 mei kemarin. Paspor tersebut memang masih berada ditangan pihak otoritas Filipina, sehingga pihak Kemenlu masih menunggu penjelasan resmi dari pihak otoritas Filipina.
Terkait WNI, ternyata ada 17 orang WNI yang berada di Marawi. 1 WNI menikah dengan warga setempat dan menetap disana, sementara 16 WNI lainnya termasuk dalam rombongan majelis ta’lim. KJRI Davao mengabarkan ke 16 orang tersebut menolak untuk dievakuasi dan ingin tetap berada disana. Sebelumnya beredar rumor, Daftar inisial nama 11 WNI yang ikut terlibat dalam serangan di Marawi tersebut, mirip dengan ke 16 nama WNI tersebut.
Menyangkut nama baik RI dan etika, mungkin sebaiknya ke 16 WNI tersebut sementara keluar dulu dari Marawi. Apalagi Juru bicara militer Filipina mengatakan enam milisi asing, antara lain dari Indonesia dan Malaysia tewas dalam pertempuran, plus ditemukannya sebuah paspor WNI atas nama, Al Amin. Dengan menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah terhadap 16 WNI tersebut, kita tidaklah heran kalau sekiranya ada “WNI setan penghianat bangsa” yang bertempur di Marawi. Di Irak dan Suria yang jaraknya lebih jauh saja ada ratusan mungkin ribuan WNI yang ditangkap atau mati bertempur demi ISIS...
Dulu banyak WNI kelas menengah yang bersekolah ke Manila atau kota-kota di kawasan Filipina Utara lainnya, karena kualitas pendidikan disana terkenal bagus dengan biaya yang tidak mahal. Manila menjadi alternatif utama karena biaya hidup dan pendidikan di Singapura dan Australia cenderung semakin tinggi. Namun dua dekade terakhir ini semakin banyak gerombolan WNI kelas bawah yang memasuki kawasan selatan Filipina ini. Mereka kemudian “bersekolah dan magang” di “kampus” Abu Sayyaf, MNLF atau MILF di kawasan Jolo, Zamboanga dan kawasan Mindanao lainnya.
Teroris-teroris Poso umumnya adalah “alumnus Zamboanga.” Mereka umumnya belajar “manajemen” perakitan bom dan penyergapan/penyerangan ke markas Tentara/Polisi. Entah mengapa selama ini hal ini dibiarkan saja berlangsung. Ketika kelompok Santoso semakin menggila dan Abu Sayyaf mulai menyandera ABK-ABK Indonesia, bahkan di perairan sendiri, barulah kita sadar, semuanya sudah terlalu jauh. Ratusan teroris yang ditangkap polisi/Densus 88 sering terkait dengan Mindanao, apakah sebagai alumnus atau rekrutan alumnus Mindanao.
Kabar terakhir, militer Filipina sudah mulai menguasai Marawi dan mendesak mundur militan ISIS. Duterte “the mad dog” yang sudah menerapkan darurat militer di Filipina Selatan pasti akan berusaha menghabisi militan ISIS sebagaimana dia menghabisi ribuan gembong dan bandar narkoba. Kini Duterte berada di garda terdepan untuk menahan laju ISIS. Kalau Duterte kalah, maka ISIS akan gampang untuk menguasai Asia tenggara.
Perjuangan Duterte memang berat. Ini bukan masalah “Islam” atau separatisme yang sudah ratusan tahun menghantui Filipina. Islam adalah bagian dari Filipina sejak ratusan tahun lalu. Itulah sebabnya pemerintah memberikan otonomi yang luas bagi kawasan itu. Memberikan kemerdekaan, seperti Indonesia melepaskan Timor Leste misalnya, bukanlah solusi tepat bagi Filipina, maupun bagi stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Terlalu banyak kelompok/faksi, dengan perbedaan ideologi, platform dan kepentingan yang sangat susah untuk dipersatukan, bahkan hanya untuk sekedar duduk di meja perundingan saja!
Contohnya saja Abu Sayyaf yang memiliki banyak faksi dan kelompok kecil lainnya. Tahun lalu, Tug-boat Brahma kita dibajak kelompok Abu Sayyaf yang kemudian meminta tebusan untuk para ABK. Secara personal, Kivlan Zein lalu terbang kesana untuk bernegosiasi dengan beberapa kelompok yang mengaku kelompok Abu Sayyaf. Setelah beberapa kali negosiasi di dalam hutan, para ABK kemudian dibebaskan. Dengan senyum bak seorang pahlawan, KZ lalu mengatakan ABK itu bebas tanpa tebusan berkat diplomasi pertemanan sesama umat beragama...
Ketika itu penulis hanya berharap semoga KZ tidak membayar dua kali untuk tebusan yang sama. Dalam dua artikel mengenai Abu Sayyaf yang dibuat oleh penulis tahun lalu, akhirnya semuanya terungkap. Tak lama setelah itu, kelompok Abu Sayyaf kemudian menculik ABK Tug-boat Charles 001 dan Tongkang Roby 152 dalam dua tahap oleh dua kelompok berbeda. Untuk aksi kedua tersebut, KZ hanya diam membisu. Tidaklah mungkin para bajak laut itu iseng “ngabisin bensin” untuk menguber tugboat/tongkang, lalu “menjamu” para ABK dengan “hospitality Zamboanga” selama sebulan, lalu melepas tamu mereka secara gratis...
***
Kabar terakhir, kini WNI yang tadinya tidak mau dievakuasi dari Marawi itu, kemudian meminta untuk dipulangkan ke Indonesia bersama WNI lainnya. Tanpa bermaksud suudzon, kita harus bijaksana mencermati keberadaan WNI dari Filipina, termasuk mantan Filipina yang masuk Indonesia lewat deportasi TKI Malaysia. PR besar buat Imigrasi adalah, ada ribuan WNI yang pergi meninggalkan Indonesia dengan visa turis/visa umroh, kemudian “menghilang ditelan bumi” tanpa pernah melapor ke KBRI/KJRI di negara tujuan.
Setelah “berhibernasi,” tanpa diketahui keberadaan dan aktifitasnya secara jelas selama ini, mereka ini kemudian pulang ke tanah air dengan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) atau deportasi. Apakah mereka masih orang yang sama? Sepertinya selama ini tidak ada yang pernah mempertanyakannya....
Salah satu yang menjadi kekhawatiran penulis adalah deportasi WNI yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Tidak semuanya WNI itu adalah TKI (Ilegal maupun legal) Sebagian dari mereka itu adalah mujahidin eks Mindanao maupun Timur Tengah. Sebagian lagi adalah kurir narkoba, dan sebagian lagi adalah kriminal lintas negara. Sepertinya Pemerintah Malaysia dan Singapura cenderung membiarkan saja masalah tersebut. Yang penting orang-orang tersebut secepatnya di deportasi dan dipastikan tidak akan mungkin menginjakkan kakinya di negara mereka lagi.
Kita sepertinya belum memiliki konsep yang jelas soal isu pertahanan dan keamanan Nasional yang dilakukan oleh “Infiltrasi orang dalam” yang memiliki paspor hijau (WNI)
Kemampuan tempur TNI jelas termasuk 10 besar dunia, dan sangat dihormati oleh negara lain. Reformasi yang kebablasan, isu HAM dan tidak kuatnya payung hukum untuk menangkal terorisme, membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan para keparat penghianat bangsa lewat aksi-aksi teror dan bom mereka kepada kita!
Para teroris “lokal” ini jauh lebih berbahaya daripada tentara Belanda maupun tentara Dai Nippon yang gampang dikenali! Teroris ini berbicara dengan bahasa yang sama dengan kita. Makan gorengan yang sama juga dengan kita, bahkan bau dan gaya kentutnya pun sama dengan kita. Paspor dan KTP juga sama. Bahkan panci yang dipakai untuk meledakkan bomnya kepada kita, adalah sama dengan panci yang berada di dapur rumah kita! Mungkin teroris ini adalah sepupu kita sendiri. Akan tetapi ketika dia menghilang sebentar dan kemudian kembali lagi, ternyata dia bukan orang yang sama lagi....
Semoga RUU Teroris yang rencananya akan dibahas oleh DPR setelah molor bertahun-tahun ini, dapat mengakomodasi kepentingan strategi pertahanan dan keamanan Nasional NKRI, baik terhadap gangguan dari luar negeri maupun gangguan keamanan dari dalam negeri sendiri.
Salam hangat
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H