Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Peluh Penari Striptis Lelaki di Kelapa Gading

27 Mei 2017   10:58 Diperbarui: 27 Mei 2017   12:04 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah memeriksa KTP tersangka dalam sebuah razia LGBT, pak polisi lalu bertanya dengan heran, “Bapak ini kan kepala keluarga dengan empat anak, lalu mengapa...? Jawab bapak itu, “anu pak, kalau keluar rumah kata istri saya gak boleh main perempuan.....”

Setelah lama mengintai dan melakukan pengamatan terhadap peluh lelaki-lelaki bertubuh kekar dan berwajah ganteng tersebut, polisi pun tak kuasa menahan hasrat untuk melakukan penggebrekan. Apesnya lagi, para lelaki bertubuh biasa yang melakukan penggebrekan ini, tidak dibekali dengan “pelatihan spirituil untuk melihat peluh sesama lelaki!” Polisi yang “panik ini” kemudian menelanjangi dan memfoto para lelaki berpeluh ini. Polisi yang kemudian memeriksa seluruh penonton, aktor dan sutradara, terkesan mengabaikan kaidah HAM dan asas praduga tak bersalah. Publikasi para pria yang bertelanjang bulat ini di medsos adalah salah satu bukti yang mendukung dugaan tersebut.

Memang bisa dimaklumi “kegrogian” polisi ketika melakukan penggebrekan tersebut. Bagi pria normal seperti penulis, berjalan melewati lorong sempit yang dipenuhi ratusan lelaki kekar bertelanjang dada merupakan pemandangan yang “menyeramkan.” Tak terbayangkan rasanya bagaimana reaksi kaget dari seorang polisi normal yang tanpa sengaja tiba-tiba “terpeluk” oleh lelaki berpeluh tersebut. Kecuali kalau polisi tersebut adalah kaum sejenis, bisa dipastikan matanya akan “merem melek....”

Reaksi spontan para polisi yang melakukan penggebrekan dan juga reaksi lelaki normal lainnya terhadap fenomena ini, diakibatkan oleh mindset (cara pandang) yang kurang memahami perilaku kehidupan para LGBT. Dalam kasus-kasus razia/penggrebekan terhadap “banci/waria” selama ini misalnya, aparat keamanan pun sering melakukan tindakan pelecehan. Terhadap reaksi para banci atas pelecehan tersebut, baik aparat maupun kita biasanya hanya tertawa saja, seperti kita menertawakan Mongol dengan gaya bancinya dalam edisi stand-up comedy...

Akan tetapi kali ini sungguh amat berbeda, dan ini pertama kalinya dilakukan penggebrekan terhadap “party” para lelaki homo seksual! Bukan hanya masyarakat yang belakangan mengetahui peristiwa ini saja yang kaget, tetapi juga para lelaki yang menyergapnya! Dalam kasus penggrebekan terhadap banci, para lelaki yang disergap biasanya memakai kutang dan rok mini... Kali ini lelaki yang disergap itu berwajah ganteng, jantan, bertelanjang dada, dengan perut six pack.. Ih..!!! Akibatnya terjadilah pelecehan tersebut.

***

Ini memang pelajaran penting bagi kita semua, terutama dalam era reformasi yang kebablasan ini. Bagi semua jurnalis maupun “citizen journalist” ada kaidah-kaidah yang harus tetap dipegang teguh, yaitu selalu menjunjung azas praduga tak bersalah dan juga etika jurnalistik terkait publikasi foto. Bukan hanya penyebaran foto-foto dalam kasus asusila saja misalnya, tetapi juga penyebaran foto dalam kasus kecelakaan lalu lintas, pembunuhan atau bencana alam.

Sering sekali foto-foto tersebut terlihat kurang sopan, vulgar, atau tragis dengan anggota tubuh yang terlihat kurang lengkap misalnya, yang justru akan menambah kepedihan keluarga maupun teman korban yang melihat foto tersebut. Seringkali para jurnalis mengabaikan hal tersebut karena tidak memahaminya atau demi mendapatkan rating yang tinggi dalam pemberitaannya! Tentu ada cara lain yang dapat dipakai untuk mengakali hal tersebut, misalnya dengan memberi efek blur pada foto, tanpa mengurangi makna dari pemberitaan tersebut.

Kemarin, ketika terjadi ledakan bom panci di Terminal Kampung Melayu, Pemerintah mengeluarkan himbauan agar foto-foto korban dari ledakan tersebut tidak dipublikasikan secara luas. Hal ini menyangkut “etika” dan respek bagi keluarga korban, dan juga fakta bahwa efek dari foto terebutlah tujuan dari tindakan teror tersebut. Semoga semua warga dapat memahami dan mematuhi himbauan tersebut.

***

Dimanapun, lingkungan sosial selalu memberi hukuman kepada setiap perbedaan, termasuk kaum LGBT ini. Mereka juga manusia, sama dengan manusia normal lainnya, tetapi dengan orientasi seksual yang berbeda. Sama seperti kita, mereka juga sebenarnya tidak ingin berbeda dari manusia yang lainnya. Mereka juga punya “rasa.” Ingin diperhatikan dan memberikan perhatian. Mereka juga punya rasa takut, benci, rindu dan pasti ingin juga dimanja.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun