Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Solusi Mengatasi Banjir Jakarta

31 Desember 2016   13:55 Diperbarui: 31 Desember 2016   14:37 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat letak geografis dan luas wilayahnya, secara teknis Jakarta tidak layak menjadi kota hunian yang nyaman bagi warga kota berpenduduk belasan juta jiwa itu. Jakarta adalah dataran rendah yang dialiri oleh tiga belas sungai yang membelah kota ini. Sebagian wilayahnya lebih rendah dari permukaan air laut sehingga ketika terjadi hujan, akan terjadi genangan. Begitu pula, bila terjadi hujan lebat berkepanjangan di selatan, maka akan terjadi banjir kiriman menuju Jakarta. Ketika terjadi pasang naik, sebagian utara Jakarta sudah mulai diterpa Rob.

Ada beberapa penyebab utama terjadinya banjir ini.

Pertama, Turunnya permukaan tanah

Seperti diketahui, PAM DKI hanya mampu memenuhi 35% kebutuhan air bersih bagi warganya, sehingga warga terpaksa menyedot air dari dalam tanah. Penyedotan air dari dalam tanah dengan jumlah yang sangat besar ini, mengakibatkan Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah yang cukup tajam. Kalau PAM mampu memenuhi 80% air kebutuhan warga, penurunan permukaan tanah ini tidak akan begitu berbahaya. Berapakah jumlah air tanah yang diambil warga Jakarta dari perut bumi setiap hari?

Kalau warga Jakarta ada 12.000.000 jiwa. Warga yang dilayani PAM adalah 35 % atau 4.200.000 jiwa, berarti yang memakai sumur bor adalah 65 % atau 7.800.000 jiwa. Jika pemakaian air per kapita penduduk adalah 50 liter/hari, maka air yang disedot dari dalam tanah adalah 7.800.000 X 50 liter/hari = 390.000.000 liter/hari = 390.000 M3/hari. Kalau dikonversikan dengan truk tangki BBM kapasitas 10.000 liter, maka air yang disedot dari tanah Jakarta adalah 39.000 truk/hari!

 

Kedua, Daerah Resapan Air

Saat ini Taman kota atau Hutan kota yang tersedia hanya berkisar 4% dari total luas wilayah Jakarta. Idealnya kawasan hijau ini 25%-30% dari total luas wilayah agar nyaman dan sehat untuk dihuni warga masyarakat. Untuk Jakarta, seharusnya kawasan hijau ini ditingkatkan luasnya setidaknya ke angka 10%. Akan tetapi hal ini pasti akan menimbulkan polemik, karena akan ada penggusuran ribuan warga, terutama bagi mereka yang bermukim secara ilegal di Jalur hijau.

Kawasan Hutan Kota dan lahan hijau berfungsi sebagai resapan air. Ketika hujan tiba, air hujan tersebut meresap dan disimpan kedalam tanah. Air tersebut kemudian akan mengisi pori-pori  tanah yang airnya telah disedot oleh warga itu, sehingga terbentuk keseimbangan didalam tanah. Akan tetapi, ketika air yang masuk lebih sedikit daripada air yang keluar, maka akan terjadi penurunan permukaan tanah.

Selain berfungsi sebagai resapan air, Taman kota atau Hutan kota juga berfungsi sebagai paru-paru kota, menghisap udara kotor dan mengeluarkan oksigen bersih bagi lingkungan. Taman kota juga berfungsi sebagai tempat rekreasi, edukasi dan sosialisasi warga masyarakat. Luas Taman kota ini seharusnya terus bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk.

Ketiga, Kurangnya/Tidak ada Sumur resapan.

Setiap bangunan seharusnya diwajibkan membuat sumur resapan. 80% bangunan di Jakarta tidak mempunyai sumur resapan. Bahkan banyak warga tidak mengenal cara kerja sumur resapan! Ketika hujan turun, air hujan tersebut langsung mengalir ke parit. Kalau hujan deras berkepanjangan, bisa dipastikan parit tidak akan dapat menampung beban air tersebut, apalagi kalau paritnya dipenuhi sampah! Idealnya air hujan tersebut disalurkan terlebih dahulu melalui talang, masuk ke sumur resapan didalam tanah.

Kelebihan air dari sumur resapan barulah dialirkan ke parit. Kalau warga juga membuat bak air disamping sumur resapan, maka air dari bak tersebut bisa dipergunakan untuk keperluan  rumah tangga , sehingga tidak perlu memakai air dari sumur bor! Selain menghemat biaya, warga juga turut membantu agar permukaan tanah tidak turun!

Keempat,Tidak maksimalnya sungai/saluran air.

Parit dan sungai yang bersih dan terawat, juga membantu mengurangi banjir. Dulu nenek moyang kita mengajarkan agar kehidupan kita tidak jauh dari sungai. Karena sungai merupakan MCK dan tong sampah termurah! Paradigma ini harus diputus! Dalam kasus Jakarta, konsepnya harus dibalik! Sungai adalah “Monster” yang harus ditangani secara bijak, agar ketika “Ketinggian air di Bendungan Katulampa naik”, akibatnya tidak akan mencelakakan warga Jakarta!

Konsepnya tentu saja dengan pelebaran, perkuatan dan peninggian tanggul sungai, yang disesuaikan dengan debit banjir maksimal di hulu sungai. Disini ada dua konsep mengenai pemanfaatan sungai tersebut. Konsep pertama, aliran air dari hulu secepatnya dialirkan ke Teluk Jakarta, termasuk dengan membuat sodetan. Konsep kedua, Sungai didesain multi fungsi, berfungsi sebagai sarana transportasi air dan sarana pariwisata warga (seperti di Eropa), tanpa melupakan tujuan semula.

Konsep kedua membutuhkan biaya yang lebih mahal, karena sungai akan lebih lebar, dan dibutuhkan bendungan di hulu dan hilir sungai untuk menjaga ketinggian permukaan air. Akan tetapi sungai dapat dipakai sebagai sarana transportasi (Bus air) untuk mengurangi kemacetan di jalan raya. Tanggul dapat dipakai menjadi jalur hijau/Taman kota dan sarana rekreasi warga.

Pengendalian banjir memang harus memakai konsep teknis, karena terukur, pasti, dapat dipertanggungjawabkan, dan tentu saja dapat dilaksanakan! Akan tetapi pelaksanaannya tidak mudah, bukan oleh faktor teknis atau ekonomis, akan tetapi oleh faktor politis! Kita memang tidak bisa menyenangkan semua orang. Pengendalian banjir pastilah “menyusahkan” ribuan warga yang “menginvasi” bantaran kali atau tanah negara yang akan dijadikan kawasan hijau! Para politisi kita lebih suka mempolitisir isu “penggusuran” daripada mensosialisasikan “relokasi” demi kepentingan sesat mereka.

Dunia politik terkadang seperti ironi! Puluhan tahun warga dibiarkan menginvasi sungai dan jalur hijau, karena suara mereka diperlukan ketika pilkada! Lingkungan kehidupan mereka sungguh tidak manusiawi. Namun ketika Gubernur merelokasi mereka ketempat yang manusiawi agar tempat yang mereka invasi tadi bermanfaat bagi kemaslahatan hidup belasan jutaan warga Jakarta, anehnya banyak juga yang menuduh kebijakan tersebut tidak manusiawi!

Dalam pandangan kaum “Apartheid” yang menolak relokasi ini, “Memanusiakan” warga Kampung Pulo misalnya adalah perbuatan yang keliru. Mereka adalah warga “Paria” yang sudah terbiasa hidup dalam bahaya dan bisa menerima keadaannya apa adanya, jadi biarkan saja mereka begitu! Yang mereka butuhkan ketika terjadi banjir adalah tenda dan mi instan! Kita akhirnya tertegun...

Memang bagi pihak-pihak tertentu, “kaum Paria” ini selalu dimanfaatkan atau dieksploitasi untuk keperluan-keperluan tertentu. Ketika “kaum Paria” kelak tidak ada lagi di bumi Indonesia, maka tidak akan ada lagi yang bisa dihasut, diprovokasi atau dibayari untuk berbuat sesuatu...

Kelak tidak akan ada lagi “nasi bungkus karet dua...” adanya... “Nasi kotak!”

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun