Membaca “curhatan” Prof Rhenald Kasali pada pada Kompas.com minggu 9 oktober 2016, dengan judul “Kelas Menengah Baru, Tegar atau Cengeng? Membuat saya benar-benar terperanjat. (Sumber: dari sini)
Dari dulu saya memang suka membaca tulisan Prof. Rhenald karena tulisannya itu enak, ringan, segar dan mengalir lancar sehingga cocok dibaca menjelang tidur.
Menarik mencermati curhatan Prof Rhenald ini, karena beliau termasuk orang yang jarang “mengeluh”. Wajahnya selalu terlihat riang, penuh senyum menawan dan terkesan “wise” mood dan penampilannnya pun selalu terkontrol.
Setelah mencari tahu, sayapun menjadi paham. Sejak beliau ini menjabat komisaris utama PT. Angkasa Pura II, wajah senyum menawan itu terkadang berubah menjadi wajah cemberut dan cemen. Kini beliau menjadi pengikut pak Beye yang suka curhat-curhatan di sosmed.
Kursi empuk komisaris utama PT. Angkasa Pura II itu memang benar-benar enak. “Kalau sudah duduk, jadi suka lupa berdiri” Kursi empuk itu juga mampu membuat seseorang untuk melupakan “nasehat-nasehat bijak” yang sering diucapkannya dalam beberapa seminar atau perkuliahan kepada orang lain.
Sudah lihat cuitan beliau di twitternya?
“Sudah deh, jangan buat akun2 baru yg beranak pinak. Kalian itu dibayar Changi ya utk jelek2an Indonesia, bodoh!”
Duh Gusti. Ini yang ngomong preman Tanah Abang atau siapa? Duh professor ini “mematahkan hati” banyak orang, dimana kata-kata bijakmu prof?Ah... tiba-tiba saya teringat kepada MT dengan salam supernya.
***
Inti persoalan dari curhatan ini adalah pengoperasian Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta. Pengoperasiannya terkesan dipaksakan, karena bandara ini memang belum benar-benar siap untuk dioperasikan. Hal itu memang terbukti, okelah kita abaikan saja soal keluhan-keluhan penumpang yang bersifat subjektif dan debateable. Lebih baik kita membahas soal teknis yang bisa diukur dan dilihat dengan gampang.
Banjir yang melanda areal kedatangan.
Secara teknis, sangat sulit dipahami mengapa hal ini bisa terjadi. Ini hanya soal sederhana antara hubungan outlet dan inlet drainase. Instalasi dari talang atap hingga saluran induk di bawah lantai gedung sudah selesai terpasang. Akan tetapi saluran outlet dari bak kontrol menuju danau buatan belum selesai.
Ketika terjadi hujan lebat, air yang jatuh ke atap mengalir ke talang, lalu menuju saluran induk di bawah gedung, tetapi air itu kemudian tertahan di bak kontrol yang terletak di areal kedatangan bandara. Akibatnya terjadilah banjir yang menggenangi areal kedatangan. Bahkan dari bak kontrol yang tutupnya dibuka itu, terlihat air mancur “menari-nari” keluar dari dalam tanah.
Kita memang kurang mampu berpikir dan bertindak secara komprehensif. Kalau memang pengoperasian bandara harus dipaksakan juga, seharusnya talang air atap dibuka, agar ketika hujan turun, air hujan yang jatuh ke atap itu tidak masuk ke saluran induk di bawah gedung yang masih belum selesai tersebut.
Pihak APII (Angkasa Pura II) mengatakan hal itu terjadi karena curah hujan yang tinggi dan adanya material tripleks yang tertinggal pada bak kontrol. Tahukah anda berapa volume air banjir tersebut? Terminal3 Ultimate mempunyai luas bangunan 422.804 M2. Anggaplah misalnya luas atapnya 100.000 M2. Curah hujan rata-rata 5-10 liter/menit.
Karena hujan sangat deras, anggap 10 liter/menit. Dengan durasi hujan 30 menit saja, maka volume air banjir tersebut adalah : 100.000M2 x 10 liter/menit x 30 menit = 30.000.000 liter! Atau setara dengan isi 3.000 truk tangki berkapasitas 10.000 liter.
Untuk mengantisipasi terulangnya peristiwa banjir tersebut, kontraktor akhirnya membuat sodetan dari boks kontrol menuju sungai terdekat. Selain itu, kontraktor juga membuat by pass talang dari atap untuk langsung dibuang ke saluran drainase terbuka diluar, untuk mengurangi air yang masuk ke drainase tertutup di bawah gedung.
Ini adalah bukti perencanaan yang kurang tepat, karena jelas-jelas volume air yang jatuh ke atap tidak pernah dihitung. Kontraktor juga kurang mampu memperhitungkan segala aspek yang “pasti” akan terjadi. Ini bukan musibah atau bencana. Setahun terakhir hampir setiap hari terjadi hujan. Talang juga didesain untuk menampung air hujan yang jatuh ke atap gedung raksasa itu. Lalu apa masalahnya?
***
Rupanya sang profesor ini tidak tahan juga telinganya mendengar keluhan para pengguna Terminal 3 Ultimate “karya anak bangsa” yang digadang-gadang kualitasnya melebihi Changi airport ini. Karena dia itu seorang profesor, bukan seorang habib Rizieq dari FPI, maka dia lalu “mengungkapkan kemarahannnya” dengan curhatan ala pak Beye style.
Mari kita teliti dan uraikan latar belakang dan tujuan dari curhatan sang profesor ini. Untuk meluapkan amarahnya terhadap pengkritik Terminal 3 Ultimate tersebut, dia lalu “berkhayal” untuk menohok para pengkritik itu. T3 ini adalah bandara internasional. Jadi jelas kebanyakan penggunanya adalah kelas menengah ke atas, dan itulah sasaran tembaknya. Karena Mukidi mungkin hanya sekali setahun ke T3, maka profesor ini mengabaikan keluhan manusia-manusia pengguna moda transportasi bus bertype Mukidi. Menurut profesor, kelas menengah baru Indonesia (pengguna T3) itu ada dua. Yaitu yang Tegar (pengagum T3) dan yang Cengeng (Pengkritik T3). Mari kita simak uraian profesor mengenai type manusia Indonesia yang bukan termasuk jenis “Pithecanthropus erectus” atau “Homo Sapiens” itu.
1. Kelas Menengah Baru Indonesia Tegar
Mereka ini adalah kaum yang bisa mengapresiasi karya anak bangsa sekalipun karyanya itu jelek dan menyusahkan. Mereka ini kaum yang sudah mapan tapi bersahaja. Kaum ini juga “narsis” Ini adalah contoh dari mereka, yang baru tiba di T3. Setiap kali ada sudut yang bagus (di T3) ia lalu menyetop orang yang lewat minta difoto. Tidak terasa, kakinya sudah mulai keletihan. Maklum jaraknya memang jauh sekali.
Kaum Tegar tidak mengeluhkan petunjuk yang jelas kurang memadai. “Karena jalannya hanya satu, pasti semua menuju titik yang sama” ujarnya. Ia begitu tegar menuju tempat parkir seperti yang disampaikan crew Garuda saat landing melalui pengumuman di pesawat. Jelas kaum ini memiliki “indra ke-enam” karena mampu menyusuri bandara seluas 422.804 M2 tersebut tanpa tersesat hanya berdasarkan petunjuk cabin crew di pesawat.
Kaum Tegar ini menyukai tantangan dan “penyuka banjir” Menurut profesor mereka berkata, “saya cari banjirnya ada dimana, ternyata cuma ada di tivi. Banjirnya sepuluh menit beritanya dibiarin tiga hari. Saya pikir sudah tidak bisa keluar dari terminal. Sayang cuma 10 menit”
Kaum Tegar ini juga “penggila keringat” Ada seorang yang berkata, “Gila, gua keringetan jalan jauh ke mobil. Pegel juga. Tapi benar-benar bagus” katanya lagi.
2. Kelas Menengah Baru Indonesia Cengeng
Menurut profesor, Kaum Cengeng ini adalah pemula “serasa expert” atau kalangan mapan yang “sulit untuk dipuaskan” contohnya seperti dalam khayalan profesor, seorang kaum cengeng traveling ke Madrid dengan membawa koper-koper besar. Orang normal lantas tertawa, travelling kok membawa koper-koper besar?
Disinilah “kiat” sang profesor untuk menunjukkan “kedunguan” kaum cengeng, agar mendapat simpati dari pemirsa. Kalau zaman dulu orang sering bepergian membawa CD bajakan playstation untuk dijual di luar negeri, mungkin koper-koper ini berisi “ramuan Mak Erot” yang akan dijual untuk menambah ongkos pulang ke Indonesia kelak.
Menurut profesor, biasanya koper-koper besar hanya dibawa traveler pemula atau pencemas yang ribet. Segalanya ingin dibawa termasuk mungkin panci, ember, sapu dan lain-lain.
Disini sang profesor ingin menunjukkan, bahwa pengkritik T3 itu adalah orang-orang bodoh, pencemas yang ribet, provokator, antek-antek luar negeri, orang-orang bayaran Singapura dan para penghianat yang tidak menghargai negeri sendiri, seperti yang dapat kita lihat pada artikel curhatan dan cuitan di twitter beliau.
***
Perbedaan pandangan adalah hal yang biasa dan terkadang diperlukan untuk perbaikan dan kemajuan. “Besi menajamkan besi” Bukankah pisau tajam karena sering diasah?
Tetapi perbedaan itu tidak boleh membuat kita mendiskreditkan orang lain atau “merekayasa sesuatu” untuk membuat “kebohongan publik “ demi menutupi kekurangan kita sendiri. Tidak ada yang sempurna dan tidak ada yang tidak pernah salah, termasuk juga seorang profesor.
Mengkritisi bukan berarti tak sayang.
Seekor monyet melihat seekor ikan yang menggelepar di kolam berlumpur yang mulai mengering akibat kemarau. Monyet itu lalu menangkap sang ikan dan membawanya ke atas pohon. Sambil menatap sungai di bawah pohon itu, Primata Tegar itu berbisik lembut ditelinga ikan itu, “kau akan aman bersamaku disini teman...”
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H