Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Langkah Mendesak untuk Restorasi Ekosistem Hutan kawasan Danau Toba

12 September 2016   22:02 Diperbarui: 12 September 2016   22:11 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa disadari dalam beberapa dekade terahir ini, kawasan danau Toba telah mengalami perubahan tampak yang sangat berbeda. Hutan-hutan yang dulu menghijau kini berubah menjadi gundul, gersang, rawan terbakar dan rawan longsor. Kawasan pegunungan Bukit Barisan yang membentang mulai dari Kabupaten Simalungun, Tobasa, Taput, Humbahas, Samosir, Dairi dan Karo ini tadinya dipenuhi kawasan hutan lebat. Akan tetapi kini telah mengalami tingkat kerusakan lingkungan yang sangat mengkawatirkan.

Kerusakan-kerusakan hutan tersebut membawa banyak konsekwensi dari terdegredasinya suatu ekositem seperti kerusakan habitat bagi satwa, perubahan fungsi hidrologi serta hilangnya kapasitas produktivitas ekosistem. Oleh sebab itu restorasi terhadap ekosistem dikawasan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Dampak terbesar dari kerusakan hutan itu bagi danau toba adalah, berkurangnya debit air yang masuk kedanau. Hal itu dapat kita lihat pada turunnya muka air pada PLTA Asahan, yang airnya bersumber dari danau Toba. Akibatnya turbin tidak dapat beroperasi dengan kapasitas terpasang, yang kemudian pada ahirnya berpengaruh kepada pasokan listrik! Selain itu, kini sungai-sungai yang bermuara ke danau toba juga membawa sedimen lumpur dan limbah kedalam danau.

Selain bagi kepentingan danau Toba sendiri, kerusakan hutan juga membawa dampak yang buruk bagi masyarakat. Kerusakan hutan dikawasan Karo, bahkan sering mengakibatkan banjir bandang yang dasyat bagi kota Medan yang sangat jauh dari kawasan hutan tersebut! Banjir bandang bukan saja membawa air bah dan lumpur, tetapi juga membawa sampah dan batang-batang pohon besar dari jarak ratusan km!

Kelihatannya ketujuh pemerintah kabupaten dikawasan danau Toba tersebut tidak mau berbuat sesuatu atau tidak mampu untuk mengatasi persoalan tersebut diatas.

Itulah sebabnya kita tidak mungkin berharap banyak kepada mereka, bahkan termasuk kepada Kementerian Kehutanan sekalipun, karena selama puluhan tahun waktu telah berjalan, kawasan itu semakin memburuk kondisinya!

Kalau pemerintah telah membentuk sebuah Badan Otorita untuk mengurusi wisata kawasan danau Toba, maka pemerintah juga harus membentuk sebuah Badan Otorita independen untuk mengurusi Restorasi  kawasan danau Toba ini agar kembali seperti semula, dan sekaligus membawa manfaat juga bagi penduduk dikawasan tersebut.

Badan otorita ini akan bekerja sesuai dengan target yang sudah ditentukan dari semula dalam suatu jangka waktu tertentu (misal, 20 tahun) untuk merestorasi ekositem kawasan tersebut.

Target tersebut akan menjadi acuan program kerja restorasi sehingga walaupun staff pelaksana lapangan akan berganti kelak, program tetap berjalan sesuai dengan target yang sudah ditentukan. Dengan demikian program tersebut akan tetap terukur dan akuntable!

Itulah perbedaan besar kalau program tersebut dilakukan oleh misalnya kabupaten. Ketika misalnya sang Bupati lebih suka “nyabu” atau bersenang-senang dengan hasil jarahan korupsinya, maka program restorasi tersebut bisa dipastikan akan gagal! Sebaliknya dengan Otorita. Ketika progres tidak sesuai dengan target, maka tim pelaksana lapangan akan segera diganti dengan orang yang lebih kapabel.

Artinya pelaksanaan pekerjaan tidak tergantung kepada orang, melainkan kepada program kerja yang sudah ditentukan! Agar program kerja berjalan dengan baik, tentu saja otorita akan melibatkan masyarakat, LSM dan juga petugas lapangan Dinas Kehutanan!

Sebenarnya program “Menanam pohon” sudah berjalan lama. Akan tetapi persoalannya cuma satu, yaitu kita hanya berusaha menanam pohon saja, tanpa berusaha menumbuhkannya!

Indonesia adalah negara dengan kerusakan hutan terbesar dan tercepat didunia saat ini. Pembabatan hutan tersebut adalah tanggung jawab Kementerian Kehutanan (bukan Kementerian Sosial), terlepas hal tersebut dilakukan melalui atau tanpa seizin Kementerian Kehutanan. Dan tentu saja seharusnya restorasi adalah tanggung jawab Kementerian Kehutanan juga! Selama ini yang bisa dilakukan oleh Kementerian Kehutanan hanyalah “Reboisasi” (Menanam tanpa menumbuhkan seperti sediakala)

Konsep Restorasi

Tujuan utama Restorasi adalah untuk memulihkan kondisi hutan alam sebagaimana sedia kala, sekaligus meningkatkan fungsi dan nilai hutan baik dari segi ekonomis maupun ekologis.

Pelaksanaannya dibuat berdasarkan skala prioritas. Program jangka pendek adalah untuk menghijaukan lahan kritis yang sama sekali tidak ada pohonnya, dan merupakan lereng bukit yang curam. Dengan demikian vegetasi yang dipilih adalah tanaman yang cepat tumbuh seperti misalnya Kaliandra (Calliandra Calothyrsus)

Selain dapat tumbuh dengan cepat pada lahan yang kurang begitu subur, tanaman Kaliandra berbintil akar, sehingga dapat menahan air dan tanah (mencegah erosi tanah) dan dapat menyuburkan tanah. Kaliandra dapat juga dipakai sebagai pakan ternak yang berprotein tinggi. Lahan kritis didataran tinggi paling mudah dihijaukan dengan Kaliandra. Setelah hijau, lahan tersebut baru ditanami dengan pohon-pohon besar, sesuai dengan agroklimat setempat dan tujuan penanaman.

Selama ini, kita terbiasa dengan menanam langsung bibit pohon pada lahan yang tandus. Akibatnya mudah ditebak. Tidak beberapa lama, pohon itu akan mati kekeringan. Seharusnya lahan tersebut dihijaukan terlebih dahulu dengan tanaman jenis kacangan, baru kemudian ditanam bibit pohon. Tanaman itu akan berfungsi sebagai mulsa, menyediakan air dan nutrisi bagi bibit pohon tersebut untuk bertumbuh.

Melalui Restorasi Ekosistem banyak manfaat yang bisa dipetik. Mulai dari pemanfaatan kayu, dan juga komoditas Non kayu seperti, bambu, rotan, getah, buah-buahan, madu hutan Biofarmaka (tanaman obat) Selain itu hutan juga bisa dipakai menjadi Laboratorium untuk ilmu pengetahuan dan Ekowisata yang membawa manfaat bagi pemerintah dan masyarakat sekitar.

Hal inilah yang harus terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat, karena merekalah tulang punggung utama agar program restorasi ini bisa berhasil. Restorasi harus dengan memberdayakan masyarakat sekitar. Mereka digaji untuk menanam dan merawat pohon-pohon yang ditanam. Kelak mereka jugalah yang akan menikmati hasil hutan tersebut.

Dulu saya sangat takjub. Hutan diatas pegunungan habis dibabat masyarakat. Karena kondisi medannya sangat terjal, maka pohon yang telah ditumbang langsung dicetak menjadi papan. Papan tersebut kemudian dipikul sampai kesungai, lalu dihanyutkan. Dihilir sungai papan tersebut lalu diangkut para pengepul.

Setelah kayunya habis, hutan itu lalu dibakar. Kemudian pada lahan yang curam itu, ditanam sawit. Sebenarnya topografi dan ketinggian lahan itu tidak cocok lagi untuk bertanam sawit.

Sebenarnya itu adalah hal yang sangat luar biasa! Masyarakat itu seperti “Tarzan” yang tanpa takut mampu membabat hutan, lalu menyulapnya menjadi kebun sawit!

Menumbuhkan sawit di diareal hutan pegunungan membutuhkan ketrampilan dan keteguhan hati yang extra luar biasa. Celeng, landak, tupai dan binatang buas lainnya suka merusak bibit sawit tersebut. Akan tetapi para “tarzan” tersebut rela bermukim ditengah hutan tersebut untuk merawat tanaman itu!

Itulah sebabnya saya amat sangat yakin, kalau proyek restorasi ini melibatkan para “tarzan” maka kemungkinan besar proyek itu akan berhasil. Sengon, Mahoni, Meranti dan tanaman hutan lainnya jauh lebih gampang diurus daripada sawit.

Pada ahirnya ketika hutan dikawasan danau Toba itu sudah menghijau, maka yang paling mendapat manfaat adalah penduduk sekitar juga. Akan banyak wisatawan yang ingin mendaki dan menikmati alam pegunungan hutan itu. Para “Tarzan” itu bisa menjadi tour guide (pemandu) porter, maupun penyedia jasa wisata dikawasan hutan tersebut.

Dengan demikian kawasan danau Toba tidak hanya menawarkan wisata air dan wisata budaya saja, akan tetapi juga wisata hutan pegunungan Tropical rainforest (Hutan hujan tropis) dengan kekayaan flora dan fauna yang beragam. Mungkin nama “Monaco of Asia” memang kurang tepat bagi kawasan ini.

Nama yang tepat adalah, “Batak Tropical Rainforest, the exotic hidden Nirvana of Indonesia”

Sebuah kawasan Hutan pegunungan yang berbatasan dengan THGL (Taman hutan Gunung Leuser) di utara hingga perbatasan Sumatera Barat di selatan. Ditengahnya ada sebuah danau vulkanik terbesar didunia yang bernama, danau Toba.

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun