Negeri ini seperti tidak ada habis-habisnya dilanda tragedi berbau SARA. Dari antara semua konflik tersebut, yang paling miris tentunya kalau melibatkan unsur Agama. Isu Agama adalah isu yang sangat sensitif dan rawan diprovokasi. Itulah sebabnya banyak orang-orang pintar bahkan tokoh agama sekalipun cenderung untuk menghindari pembahasan tentang isu konflik yang melibatkan agama ini karena takut terkena dampak buruknya.
Tragedi pembakaran Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai kemarin merupakan “Refleksi dari Eskalasi kebencian sosial” yang terjadi dimasyarakat yang umum terjadi diseluruh Indonesia, dan Tanjung Balai khususnya. Kebencian masyarakat marjinal yang kehidupannya lebih miskin itu ditujukan kepada “Orang-orang kaya” yang nasibnya menurut mereka lebih baik.
Baiklah kita mengurai segala carut marut ini dengan “Langgam Melayu” karena apa yang tersirat melebihi daripada apa yang tersurat. Peribahasa “Muka buruk cermin dibelah” adalah pendekatan yang pas dipakai dalam penguraian kasus sederhana ini. Kasusnya sangat sederhana, tapi kalau penyelesaiannya tidak tepat, maka akan fatal akibatnya.
Kita akan mulai dengan kasus Tanjung Balai. Kota Tanjung Balai adalah sebuah kota kecil yang padat penduduk. Sebagian besar perekonomian ditopang oleh bisnis berbasis kelautan. Mulai dari ikan, kapal, ekspor-impor, dan tentu saja penyeludupan. Sejak jaman PRRI Tanjung Balai memang adalah basis penyeludupan di Sumatera Utara, yang tentu saja pasti melibatkan oknum aparat pemangku kepentingan.
Dalam strata kehidupan sosial masyarakat yang penuh kemunafikan, tentulah lebih nyaman berbisnis ilegal dengan kaum Tionghoa, karena mereka itu “mulutnya” lebih bisa dipercaya.
Contoh ilustrasinya kita ambil dalam kasus penyeludupan bawang putih yang melibatkan dua orang penyeludup lokal. Yang satu “pribumi Lokal” yang bernama B, satunya lagi “Tionghoa lokal” bernama A.
Dalam klausal MOU yang telah “disiratkan” kedua belah pihak berdasarkan azas saling percaya adalah Rp 1.000 untuk setiap karung, disetor kepada aparat lapangan bernama C, dengan ketentuan RP 500 untuk C dan RP 500 untuk atasannya. B membawa 10 karung lalu membayar kepada C Rp 10.000
Akan tetapi ketika dikedai kopi atau acara “wirid” B suka mengatakan secara berkelakar bahwa dia membayar kepada C Rp 20.000. Hal ini tentu saja sangat meresahkan C, karena kalau sampai terdengar atasannya, dia bisa dipecat karena dituduh memeras. Selain itu C juga merasa malu karena istrinya dan istri B adalah teman satu “pengajian” Ahirnya MOU dibatalkannya secara sepihak!
A yang ramah itu selain pintar “mencari muka” suka juga memberi parcel kepada C dan atasannya. A lalu membawa 20 karung, kemudian melaporkan 10 karung ke atasan C sambil memberikan oleh-oleh biskuit dari Malaka. A lalu membayar Rp 14.000 kepada C. Setelah “memegang kalkulator”, C mendapat hasil bersih Rp 5.000 + Rp 4.000 = Rp 9.000. Boss mendapat Rp 5.000 + biskuit semuanya dari “10 karung” Semuanya happy dan bisnis berlanjut.
Apakah semua orang Tionghoa penyeludup dan sukses? Penyeludup Tionghoa yang “mulutnya ember” pasti ditendang, lalu kemudian ia akan menjadi agen togel atau tukang becak. Penyeludup kakap itu malah orang-orang pribumi yang “pemalu dan mulutnya selalu terkatup rapat” Ahirnya dalam segala hal ketika usaha orang pribumi tersendat, mereka mengatakan kepada karyawannya atau orang lain, itu gara-gara orang Tionghoa. Lama-lama orang impoten juga mengatakan, mereka impoten gara-gara orang Tionghoa!
Sebenarnya Sukses itu bukan ditentukan oleh ras, walaupun kultur dari ras itu berpengaruh terhadap etos kerja. Ada banyak orang Tionghoa yang menjual mie pangsit atau bakmi sebagai pekerjaannya. Beberapa diantara mereka mampu menyekolahkan anaknya ke UK atau Kanada. Bisa dipastikan orang pribumi tidak akan bercita-cita menjual bakmi, walaupun penghasilannya melebihi gaji pimpinan cabang bank swasta, karena mereka malu “memakai celana pendek!”