Tidak diragukan lagi betapa besar peran dan manfaat KRL selama ini bagi masyarakat. Setiap bulan KRL mengangkut jutaan penumpang diwilayah Jabodetabek. Namun dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertambahan aktivitas pergerakan masyarakat yang menggunakan KRL, tentu saja dibutuhkan pertambahan frekwensi keberangkatan dan jumlah gerbong untuk mengangkut penumpang.
Akan tetapi, PT KAI Commuter Jabodetabek selaku operator jalur KRL Commuter Line, tidak dapat begitu saja untuk menambah frekwensi keberangkatan kereta maupun jumlah gerbong penumpang, karena menyangkut kepentingan publik, terutama pengguna jalan raya yang pasti akan terganggu karena terlalu lama dan terlalu sering berhenti di pintu lintasan kereta.
Salah satu solusi terbaik dan selalu dipakai dikota-kota besar didunia adalah dengan pemakaian Metro/MRT atau Subway, yang jaringan jalur relnya berada didalam tanah atau diatas tanah yang tidak bersinggungan dengan jalan raya. Karena jalurnya tersendiri, maka teknologinya juga dibuat khusus dengan “teknologi kereta Maglev” (Magnetic levitated trains) atau kereta api dengan teknologi mengambang secara magnetik atau disebut juga KA Magnet.
Akan tetapi MRT bukanlah untuk konsumsi rakyat kebanyakan. Investasinya yang sangat luar biasa besar, tentulah membutuhkan ongkos tiket yang sesuai dengan pelayanannya yang super cepat dan nyaman, agar Investor mau membangun proyek MRT tersebut. Sekalipun MRT Jakarta kelak telah beroperasi, KRL akan tetap beroperasi dengan maksimal.
Lalu kalau sekiranya operasional MRT kelak hanya sedikit mengurangi beban KRL, sedangkan pertumbuhan aktivitas penumpang tetap bertambah, bagaimana caranya memaksimalkan KRL yang sekarang tanpa menambah beban bagi kenyamanan pemakai jalan raya?
Salah satu alternatif dengan segala keterbatasan tersebut adalah dengan membuat gerbong “Double Decker” sehingga peron untuk naik turun penumpang dibuat bertingkat pula. Dengan demikian problem untuk menambah panjang peron penumpang ditempat terbatas dapat diatasi.
Akan lebih baik kalau sekiranya ada lift dan eskalator selain tangga biasa untuk kenyamanan penumpang.
Tentulah perubahan dari Single Decker ke Double Decker bukan perkara gampang. Selain perobahan kabel listrik sumber daya KRL, peron dan juga gerbong KRL sendiri memerlukan “Metode pelaksanaan khusus” mengingat operasional kereta tidak boleh terganggu.
Metode pelaksanaan inilah sebenarnya yang paling menarik untuk dicermati, mengingat keterbatasan ruang, waktu dan metode teknis pelaksanaan. Tentulah tantangan ini diharapkan dapat memacu “adrenalin” para Engineer kita untuk mencarikan solusi terbaik. Tantangan paling “mengerikan” adalah dengan “Tidak bolehnya operasional kereta terganggu!”
Secara garis besar, mungkin konstruksi peron memakai rangka baja berupa modul yang dapat dirakit dengan cepat untuk kemudian diinstal menjadi sebuah peron. Secara teknis pembuatan gerbong tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi yang paling rumit mungkin untuk kabel sumber catu daya listrik KRL. Tiang kabel yang lama tentu saja tidak bisa dipakai untuk KRL baru karena berbeda letak ketinggiannya.
Meninggikan tiang kabel lama, tentu saja tidak mungkin karena akan mengganggu operasional harian KRL. Membuat tiang dan kabel baru untuk gerbong baru, disamping tiang dan kabel lama adalah alternatif terbaik. Tiang dan kabel lama pasti akan dibuka juga karena mengganggu ketinggian gerbong baru. Atau mungkin ada alternatif lain, sumber daya berasal dari lokomotif Diesel/gas yang membangkitkan generator listrik, sehingga tiang dan kabel itu tidak diperlukan lagi.
Kelihatannya yang terbaik adalah memakai loko Diesel/gas dengan atau tanpa generator karena kereta bisa langsung “tune” beroperasi. Tentulah ketika “proses instalasi” kereta tidak bisa beroperasi antara satu stasiun ke stasiun berikutnya. Untuk itu diperlukan bus pendukung agar aktivitas penumpang sehari-hari tidak terganggu.
Kalau sekiranya kereta memakai lokomotif Diesel/gas, maka peron bisa dua atau tiga lantai. Lantai pertama dan kedua untuk akses keluar masuk penumpang ke gerbong kereta. Lantai ketiga merupakan servis area dan area publik yang menghubungkan antara kedua peron dikiri kanan kereta.
Problem utama pada stasiun/peron KRL adalah sempitnya ruang tunggu untuk publik. Pada jam-jam sibuk, atau ketika terjadi keterlambatan keberangkatan kereta, maka akan terjadi penumpukan penumpang distasiun. Hal ini tentu saja akan mengurangi kenyamanan penumpang. Dengan beroperasinya peron bertingkat ini, pada lantai ketiga akan didapat “space” seluas sekurang-kurangnya 1.500 M2!
Diluar negeri pemakaian KRL Double Decker sudah banyak dipergunakan mengingat keterbatasan luas peron. Selain itu, menambah gerbong penumpang juga bukan alternatif yang baik karena menyangkut kepentingan publik, terutama kepentingan pengguna jalan raya. Semoga KRL Double Decker ini dapat segera diaplikasikan di negara kita.
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H