Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Singapore Syndrome

22 Juli 2016   15:48 Diperbarui: 22 Juli 2016   16:50 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu Indonesia terkena demam “Singapore Syndrome” yang menghebohkan dan sedikit mengganggu. Apakah ini demam akibat vaksin palsu? Ternyata tidak. Demam ini lebih diakibatkan oleh dampak dari Panama Papers yang dirilis Mossack Fonseca dari Karibia beberapa waktu yang lalu. Dampak dari Panama Papers itu, Singapore kemudian menjadi “terdakwa” atas seluruh kejahatan korupsi yang dilakukan warga Indonesia.

Apesnya lagi, ada juga yang mengaitkan Singapore dengan pemilihan presiden Indonesia 2014, di mana katanya Singapore berusaha agar capres tertentu itu menjadi presiden. Dengan demikian maka Singapore akan leluasa “mengatur” Indonesia. Pernyataan ini sangat menggelikan dan melecehkan kedua capres dan rakyat Indonesia, dan tentu saja pemerintah Singapore sendiri. Pernyataan tersebut sangat tendensius dan sungguh sangat tidak sopan!

Beberapa waktu yang lalu, Singapore dituduh terlibat di belakang mandegnya pembahasan RUU Tax Amnesty oleh DPR, di mana katanya Singapore berusaha mengintervensi RUU tersebut agar menguntungkan Singapore. Bahkan katanya Singapore telah menghabiskan milyaran rupiah, termasuk di sosmed untuk membatalkan UU Tax Amnesty tersebut. Ketika Munas Golkar di Bali selesai dengan “sukacita” maka pembahasan RUU Tax Amnesty oleh DPR pun kemudian berlangsung lancar, dan UU Tax Amnesty ahirnya disahkan oleh Pemerintah. Ahirnya isu keterlibatan Singapore menguap begitu saja.

***

Dalam penjualan beberapa BUMN oleh pemerintah di masa yang lalu, Singapore menjadi “terdakwa” dalam konspirasi penjualan BUMN tersebut. Sebagai contoh, Tahun 2002 Singapore Technologies Telemedia (STT) membeli 41,94% saham Indosat dari pemerintah dengan harga Rp 5,7 Triliun (kurs USD Rp 8.940) Lalu pada 6 juni 2008 STT menjual 40,8% sahamnya di Indosat kepada Qatar Telecom dengan harga US$ 1,8 Milyar atau Rp 16,74 Triliun (kurs USD Rp 9.300)

Selain menikmati keuntungan besar dari penjualan saham Indosat, STT juga menikmati “lezatnya” dividen sekitar US$ 1,5 Milyar selama mengelola Indosat plus sisa 1,14% saham yang masih dipegang. Sebagai perusahaan bisnis, STT telah melakukan pekerjaannya dengan baik, dan sudah seharusnya memang begitu. Ketika terjadi “ribut-ribut dan sirik” atas keuntungan STT tersebut, maka Singapore pun lalu dijadikan terdakwa.

Demikian juga dengan saham Telkomsel dan bank-bank lain, yang setelah dibeli perusahaan Singapore lalu kemudian dipoles dalam jangka waktu tertentu, lalu dijual lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi. Yang menariknya lagi, dana untuk membeli perusahaan Indonesia tersebut bersumber dari uang orang Indonesia yang parkir di Singapore plus “Orang-orang kuat Indonesia” yang berdiri di belakang dan di dalam perusahaan Singapore tersebut!

Pembelian, pemolesan dan penjualan BUMN/Perusahaan Nasional tersebut, bukanlah pekerjaan tebak-tebakan atau spekulasi untung-untungan. Dibutuhkan sinergi yang kuat antara “orang dalam” dan orang dalam yang “berada di luar”

Perusahaan-perusahaan Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri (umumnya bersifat monopoli) yang berbeda dengan perusahaan asing. Sinergi itulah yang mampu menghasilkan momentum kenaikan kinerja perusahaan dan otomatis kenaikan harga saham perusahaan.

Ini sebenarnya fenomena yang sangat menarik apalagi pola kerjanya selalu mirip, akan tetapi terabaikan oleh publik!  Ketika krismon melanda, perusahaan-perusahaan nasional itu berguguran seperti daun layu. Kemudian IMF datang dengan “obat sakti” privatisasi dan reformasi regulasi. Lalu Temasek grup datang memberi “pil manis berisi empedu” Dalam sekejap mata, perusahaan itu menjadi sehat dan kuat, lalu sebahagian sahamnya dijual dengan harga sangat tinggi dan sebagian lagi saham tersebut tetap dikuasai oleh Temasek grup.

Kini sebahagian dari perusahaan nasional yang bergerak di bidang perkebunan, keuangan, telekomunikasi dan otomotif dimiliki oleh Temasek grup. Jangan salahkan Singapore dengan Temaseknya itu. Jangan salahkan juga USA dibalik jaket IMF-nya. Tetapi silahkan tunjuk hidung sendiri, karena tidak mungkin orang lain berani mengatur, kalau kita mampu mengatur diri kita sendiri!

Tepatlah kata pepatah, “Muka buruk cermin dibelah” dan “Seperti menepuk air didulang, terpercik muka sendiri”  Orang-orang atau artikel yang mendiskreditkan Singapore itu adalah “Orang-orang bodoh yang mempertunjukkan kebodohannya didepan orang lain”

Akan tetapi masih ada satu point penting lagi. Isu Singapore ini telah dipakai menjadi “kambing hitam” untuk dijadikan tumbal, kalau sekiranya hasil dana masuk dari Tax Amnesty tidak berjalan seperti yang diharapkan.  

Entah “konsultan” mana yang pertama menghembuskan isu ini. Memang Singapore yang paling “sedap” untuk dijadikan kambing hitam kalau sekiranya dana masuk ex repatriasi tidak berjalan mulus, dengan beberapa alasan yang memang “masuk di akal”

Pertama, sejak dulu orang Indonesia menyimpan dananya di Singapore, jadi wajar saja jika Singapore akan berupaya menahan uang itu tetap tinggal.

Kedua, Singapore menutup mata dan tidak mau membagi informasi atas uang hasil korupsi para koruptor Indonesia yang disimpan di Singapore.

Ketiga, Dana hasil korupsi orang Indonesia itu, dipakai Singapore untuk membeli perusahaan Indonesia dan memperkaya Singapore sendiri.

Jadi cukup dengan ketiga alasan tersebut, ketika nanti program Tax Amnesty gagal, maka semua orang akan serentak berkata, “Gara-gara Singapore!”

Reinhard Freddy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun