Sudah sepuluh bulan Syaiful mencari keluarganya, dan dia belum menemukannya. Sudah empat kali dia masuk rumah sakit dan diopname berhari-hari karena malnutrisi. Saat ini pun dia masih rutin ikut program konseling dari sebuah LSM relawan psikiatri.
Ahirnya dia menyerah. Dia ikhlas menerima kenyataan, bukan hanya anak istrinya yang sudah tidak ada lagi. Ayah-ibunya, Adik-adiknya beserta keluarga merekapun sudah tidak ada lagi. Dia kehilangan tiga puluh satu orang dari keluarga besarnya, belum terhitung sepupunya. Kini dia sebatang kara di dunia ini.
Dia ingin memulai sesuatu yang baru tanpa mereka. Tapi dia tidak ingin memulainya lagi dari tempat ini, karena dia pasti tidak akan mampu.
Dia dahulu bekerja sebagai pegawai penjualan disebuah toko tekstil di kawasan Tanah Abang. Setelah lima tahun bekerja sebagai pegawai, dan paham akan seluk beluk dunia dagang tekstil, dia kemudian mulai berdagang kecil-kecilan disekitar kawasan itu juga.
Ketika usahanya semakin sukses, dia lalu pulang kampung dan menikah disana. Syaiful kemudian memulai usahanya di Banda Aceh. Berkat pengalaman dan keuletannya, usahanya kemudian semakin sukses.
Kini semuanya sudah sirna, tetapi tidak apa-apa.
Dulu ketika dia lahir kedunia ini, dia juga tidak membawa apa-apa. Kini dia lahir kembali dengan pengalaman hidup yang telah dipelajarinya selama ini.
Kenapa harus takut untuk memulai sesuatu yang baru lagi? Kenapa harus takut gagal atau mati? Dia sudah pernah “mati”. Orang “mati” tidak perlu takut mati, karena orang yang sudah pernah “mati” tidak akan mungkin mati lagi.....
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H