Siang hari itu, semua penduduk terpaku menatap kelangit. Sang surya menatap kebumi dengan sinar yang garang dan terik. Saat-saat yang dinantikan pun tiba! Orang-orang menahan nafas, tidak bersuara, tidak bergerak. Tiba-tiba langit gelap, Sang surya seketika bersembunyi dibalik awan!
Anak-anak kecil segera menutup mata, memeluk kaki ibunya dengan penuh ketakutan. Ibu-ibu membaca mantera sambil menadahkan tangan keatas. Para lelaki segera menabuh genderang bertalu-talu. Seorang lelaki tua berpakaian putih dengan memakai “destar” putih dikepala, membakar sesajen dan kemenyan, diikuti beberapa lelaki tua lainnya. Sebagian dari mereka segera menggorok leher ke-tujuh kerbau putih itu.
Setelah beberapa lama kemudian, sinar sang surya menampakkan wajahnya kembali dari balik awan itu. Seketika semua orang-orang itu berteriak kegirangan, berlutut dan mengadahkan tangan keatas, mensyukuri kembalinya sang surya kepada mereka! Gerhana itu merupakan tanda peringatan dari Sang Khalik agar manusia memelihara keseimbangan alam agar mereka terhindar dari segala bencana.
Aku menghela nafas ketika menutup catatan kisah “Nenek-moyang” yang belum mengenal agama itu. Cerita sederhana mengenai apa yang dilakukan secara bersama oleh seluruh penduduk ketika terjadi “sesuatu” yang dianggap dapat membahayakan kehidupan mereka. Setiap orang mengambil porsi dan terlibat secara langsung untuk memelihara keseimbangan alam agar mereka terhindar dari murka sang Khalik!
***
Kini waktu sudah bergulir, masa telah berganti. Semua orang telah mengenal agama, sesuatu yang dianggap dapat “memodernisasi” manusia dari “ketololan tahyul anak-anak!”
Sekarang manusia boleh memilih agama yang pas buat dirinya, seperti memilih menu makan siang. Mereka boleh mengganti-ganti “agama” tersebut sesuai dengan kebutuhan. Yang penting harus ber-agama, karena kolom tanpa agama, tidak boleh di KTP.
Kini Gerhana, Peringatan alam akan banjir, Longsor atau bahaya-bahaya lainnya, bukanlah sesuatu yang menakutkan. Alam terlalu sering menunjukkan “gejala-gejala” akan timbulnya bencana secara kasat mata, tetapi manusia ber-agama tersebut mengabaikannya, karena menganggap itu hanya “tahyul untuk menakuti anak-anak” Akibatnya banyak manusia menjadi korban keganasan bencana alam!
Exploitasi alam yang berlebihan, Penebangan hutan yang masif, Penambangan dari perut bumi yang tak terkendali, Okupasi penduduk dengan membuat hunian ditepi daerah aliran sungai diperkotaan, polusi oleh industri dan kenderaan yang sangat luar biasa akan menimbulkan bencana yang sangat luar biasa di bumi kelak.
“Mahluk tahyul tak ber-agama” itu hanya menebang pohon sesuai dengan kebutuhannya saja, dan segera mengganti pohon yang ditumbangnya itu dengan sebuah bibit pohon yang baru. Mereka memburu seekor kijang, hanya untuk kebutuhan makan mereka sehari saja. Mereka tidak memburu lebih dari yang dibutuhkan, karena mereka tidak akan menyimpan sisanya. Mereka mengerti keseimbangan alam, dan mereka juga tidak mempunyai sebuah kulkas!
Mahluk ber-agama itu sangat mengerikan! Mereka menebang jutaan hektar hutan hanya untuk dibuat menjadi tissue, meja tulis, bahkan tusuk gigi! Dan setelah itu mereka membakarnya untuk kemudian segera disulap menjadi kebun kelapa sawit!
Bagaimana dengan ekosistem lingkungan hutan itu kelak? Tidak ada yang perduli! Berapa banyak gajah, harimau dan satwa-satwa maupun vegetatif yang tak ternilai lainnya ikut musnah akibat dari perubahan itu? Adakah yang memikirkan dampak perubahan temperatur, geologi, klimatologi dan naiknya permukaan air laut akibat dampak tersebut?
Kemanakah para ahli geologi, insinyiur, planologi dan ahli-ahli lainnya yang ber-agama itu? Setiap tahun jumlah mereka bertambah, tetapi kerusakan alam semakin bertambah juga.
Mahluk ber-agama itu tidak takut akan bencana. Mereka lebih takut “Tidak-makan”, “Tidak-kaya”, “Tidak punya mobil bagus”, “Tidak punya rumah besar” atau “Takut tidak terkenal”
Para Ahli ekonomi juga mengerti hukum “Supply and Demand” yang harus dijaga. Ketika terjadi “Over supply” harga otomatis akan turun, revenue juga akan turun. Ketika terjadi “Demand” yang tinggi, supply yang berlebihan juga bukan solusi yang baik, karena akan mengakibatkan terjadinya over supply. Kini saatnya sejenak melupakan “agama” dan merenungkannya. Agamakah yang salah atau implementasinya yang salah, karena seharusnya agama itu membuat kehidupan lebih baik dan berguna bagi manusia dan lingkungannya.
Kini saatnya seluruh manusia ber-agama itu berkumpul bersama, dan sejenak melupakan perbedaan “akidah” maupun “liturgi” diantara mereka. Mereka harus bersama-sama mengambil bagian dan peran untuk memperbaiki dan merawat bumi tempat mereka tinggal bersama. Dan setelah itu semuanya selesai, barulah mereka memikirkan “urusan agama” mereka masing-masing.
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H