Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketut dan Kuda Batak

28 Juni 2016   13:06 Diperbarui: 28 Juni 2016   13:18 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin semilir bertiup lembut memeluk pohon-pohon ditepi alun-alun kota Jogjakarta dimalam yang sejuk itu. Beberapa pasangan terlihat asyik-masyuk bercengkerama memadu kasih. Mereka saling tertawa, saling cubit atau saling mencium pipi tanpa memperdulikan sekitarnya. Terkadang orang-orang yang berjalan melewati mereka harus “membuang-muka” karena merasa risih melihat mereka yang sedang asyik-masyuk tersebut.       

Seorang lelaki tua berpeci, tiba-tiba terjatuh menimpa tong sampah. karena “membuang-muka”,  ia tidak melihat ke jalan. kakinya terpeleset kena kulit jagung rebus yang tergeletak persis disamping tong sampah itu. “Waduh, edan tenan, anake setan, putuni kuntilanak!” Teriakan lelaki tua itu memecah keheningan malam, membuat semua orang terkesima, dan sekejap kemudian semua orang tertawa. Angin yang tadinya semilir itu pun ikut juga tertawa terbahak-bahak, hingga “menerbangkan” rok mbak Mimi, penjual mie rebus. Kemudian suasana kembali normal. Penjaja makanan kembali lagi menebar sapa dengan senyuman manis, merayu setiap pengunjung yang melewati gerobak makanan mereka.

Kanjeng Sri Astuty kembali lagi asyik-masyuk dengan I Made Ketut Gede Hutapea. Jejaka ini tidak jelas asal-usulnya, apakah jejaka Bali kelahiran Balige, atau jejaka Balige kelahiran Bali? Atau jejaka asli Amerika bernama “Richard Gere” kemudian “menghitamkan” diri dipantai Kuta, lalu nemu “Hutapea” diantara karang Nusa dua, terus supaya keren, lalu menemplokkannya pada namanya? Tapi Astuty tidak pernah mempersoalkan hal itu, yang penting kumis Ketut tersusun rapi seperti jemuran teri diatas tampi.

Sudah hampir satu tahun mereka ekspansi bisnis di kota ini. “Core business” mereka Andong dan cuma satu, tapi istimewa karena kudanya, kuda Batak! Kuda itu pinter sekali. Kalau ada tamu yang hendak jalan-jalan tour ke keraton, Ketut cuma membisiki kudanya, kemudian kuda itu mengangguk-angguk lalu membawa tamu tersebut tour mengelilingi Keraton  tanpa tersesat dan tanpa kusir!

Biasanya sehabis tour keliling keraton, kuda itu berhenti sendiri di sebuah toko souvenir dipojok jalan tersebut. Dari setiap pembelian oleh tamu Ketut di toko tersebut, Ketut akan mendapat komisi dua puluh persen , sedangkan kuda tersebut diberi syrup dan telur setengah mateng atas kebijaksanaannya itu.

Dulu bisnis mereka berjaya di Monas. Akan tetapi sejak Ahok membersihkan pedagang kaki lima dan “penjual cinta” Monas menjadi sepi. Biasanya pria “hidung belang” plarak-plirik dulu naik andong mengelilingi Monas, dan kuda itu selalu tahu dimana tempat berhenti sesuai dengan “selera” tamunya. Biasanya tamu-tamu tersebut suka memberikan bir kaleng kepada kuda yang “baik hati” itu.

***

Keceriaan Ketut terganggu sejenak, ternyata ada tamu yang hendak dolan-dolan naik andong. ”Mas, bisa muter-muter keliling keraton?” tanya sang tamu. “kalo cocok harga, ke Ungaran pun mau kuda ini pak” kata Ketut cengengesan.

“Bah, orang bataknya rupanya kita ya lae?” sang tamu bertanya.

“Bah horas lae, marga apa ya lae?” kata Ketut dengan sopan.

“Ah, bukannya lae. Saya ini orang Salatiga, tapi pernah ke Medan lae” kata sang tamu tertawa. “Bah kalo gitu, manggil mbah pun saya mau, yang penting cocok harga” kata Ketut sewot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun