“Selamat datang di Malaysia encik, ada bawa rokok tak? Mana nak tinggal? Ohh itu tempat bagus macam.. nak pigi mané-mané senang sajé, silé lewat sini cik..”
Entah kenapa Pos pemeriksaan Imigresyen Malaysia selalu mendatangkan rasa kurang nyaman bagiku. Aku takkan mau lewat pos lelaki “keling” atau bumiputra. Bukan rasis! Aku lebih seronok lewat pos yang dijaga wanita, apalagi yang mudé...
Entah kenapa hubungan Indonesia-Malaysia sering dibumbui aroma tak sedap. Dulu orang Indonesia mengajari orang Malaysia supaya pintar. Cikgu banyak didatangkan dari Medan. Mahasiswa belajar ke Medan. Guru mengajipun didatangkan dari Medan. Pertamina mengajari Petronas. Bahkan sampai kini pun, Encik-encik Malaysia “lebih selesa berseronok” di Medan, Bandung atau Jakarta daripada Phuket atau Bangkok!
Dulu ketika Pemerintah Malaysia takut akan etnis ”China” memenangi pemilu, mereka meminta tolong kepada Indonesia. Indonesia kemudian mengekspor lebih dari sejuta “bumiputra” secara “rahsia.” UMNO pun ahirnya memenangi pemilu. Sepertiga penduduk Malaysia adalah berdarah Indon. Tetapi mengapa para “durhaka durjana” ini selalu membuat susah Indonesia?
Para durhaka ini berdalih, para pemimpin Indon adalah “Koruptor” Indon-indon adalah perusuh, preman, pemalas, bodoh, pencuri dan penipu! Indonesia adalah masa-lalu, Malaysia adalah masa-kini! Astaghfirullah aladzim! Rupanya para mantan Indon ini ingin meninggalkan masa-lunya dengan membenci Indonesia!
Sesudah kasus ekspor bumiputra itu, RI dan Malaysia kemudian berkonfrontasi. Slogan Ganyang Malaysia dilontarkan Sukarno. Malaysia pun diserang. Tetapi misi tersebut gagal total!
Malaysia didukung sepenuhnya oleh Inggris dan Tentara Persemakmuran. Jadi tentara Indonesia hampir tidak pernah bertempur melawan “Askar-askar Tentra di Raja Malaysia” melainkan melawan British Army atau Pasukan Gurkha!.
RI juga sebenarnya tidak mempunyai duit yang cukup untuk berperang. Selain itu rakyat Kalimantan dan Sumatera juga memang tidak pernah berminat memerangi adik yang “dekat dimata jauh dihati” itu.
Tiga dekade terahir, perkembangan Malaysia memang sangat pesat dan mencengangkan. Kestabilan politik “kaku didalam, lentur diluar” membuat Malaysia berjaya, padahal problema yang dihadapi mirip dengan Indonesia.
Malaysia banyak belajar dari Indonesia, tetapi mereka hanya mencontoh hal yang baik saja. “Puak” Melayu memang fanatik terhadap “ugama dan budaya” mereka, tetapi tidak pernah memaksakannya kepada puak lain!
Tiga puluh lima tahun yang lalu, pas Romadhon, saya makan “siobak dekat Petaling Jaya.” Tiba-tiba ada razia syariah. Dua orang puak melayu digebuk dan ditangkap polis. “Rupanya saya punya muka kurang Melayu sangat! Tapi saya punya paspor hijau lah encik!”