This is the day... Year 2017... The final judgement!
Hari ini Pilgub DKI dilaksanakan. Inilah hari pemilihan gubernur paling heboh sedunia, karena ditonton oleh seluruh penduduk dunia, termasuk para kosmonot di stasiun luar angkasa “Mir” lewat tayangan “pay per view”
Aku termasuk salah satu pemilih yang diundang untuk mengikuti Pilgub ini, dan aku sangat antusias untuk mengikutinya. Kemarin aku sudah cukuran, facial dan tak lupa luluran, biar enak dan “pede” menuju bilik suara.
Aku kemudian berjalan dengan penuh percaya diri menuju TPS di dekat rumahku. Seluruh warga DKI sangat antusias mengikuti Pilgub ini, terlihat dari ramainya warga yang memenuhi TPS. Setelah mendaftar, aku kemudian duduk menunggu giliran.
Ahirnya namaku dipanggil dan diberi kertas suara. Aku lalu masuk ke bilik suara.
Tapi kemudian aku kecewa, karena tidak melihat gambar pilihanku pada kertas suara tersebut. Aku ahirnya keluar dan meradang pada petugas TPS. Keributan segera terjadi.
“Ini tidak benar! Ini negara demokrasi. Setiap warga negara berhak menentukan pilihannya sendiri!” teriakku keras.
Petugas TPS terlihat kalang kabut untuk menenangkan warga, karena sebagian ibu-ibu PKK turut membelaku. “Tenang mas... tenang, mas duduk sebentar deh. Semuanya bisa diatur koq. Mas duduk dulu ya, please?” kata petugas TPS dengan lembut kepadaku.
Ahirnya mereka berembug dengan serius. Sepuluh menit kemudian mereka saling bersalaman, lalu memanggilku.
Petugas TPS tadi kemudian berbisik kepadaku, lalu meminta foto Gubernur pilihanku. Aku memang selalu membawa fotonya di dalam dompetku. Mereka kemudian memprintnya di kertas suara.
Aku kemudian masuk bilik suara lagi, lalu membuka kertas suara tersebut. Duh betapa leganya hatiku... aku kemudian mencoblos gambar tersebut. Dari semula aku telah menetapkan pilihanku, dan itu tidak bisa ditawar-tawar. Aku telah menetapkanmu, duhai kekasih pujaan hatiku, menjadi Gubernurku untuk selamanya. Itulah sebabnya aku facial dan luluran kemarin...
Setelah merapikan rambut, aku kemudian keluar dari bilik suara dengan hati riang. Ibu-ibu PKK berteriak mendukungku. Warga lain bertepuk tangan dengan senang karena tidak ada keributan lagi. Petugas TPS lega, karena bisa membantu menyalurkan aspirasi warganya.
Ketika aku hendak pergi, petugas tersebut memanggilku sambil menunjukkan jari kelingking yang bertanda tinta biru kepadaku. Aku segera menghampirinya. petugas tersebut dengan tersipu malu mengoleskan tinta biru di hatiku....
Reinhard Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H