Setiap orang pasti punya pengalaman tersendiri semasa hidupnya. Baik bahagia ataupun duka. Namun semua orang akan merasakan keduanya, dalam kurun waktu yang berbeda. Walaupun prosentase antara suka dan duka tak sama kadarnya.Â
Begitupun denganku, menikmati hidup tak harus mulus bukan. Seperti halnya roda yang berbutar, terkadang ada masa kita di bawah. Di usia  yang lagi menikmati masa-masa muda. Ku harus melewatinya dengan pengalaman pahit, menurutku.Â
Mengingat aku sekeluarga belum pernah menginjakkan kaki di rumah sakit. Baik itu ayah ataupun ibu. Teringat ketika kami sedang bersantai, ibu seringkali berujar "Jangan sampai dikeluarga kita kalau sakit sampai opname".
Dikeluargaku yang memang masih kental akan budaya setempat. Jika ada salah satu keluarga sakit cukup periksa, minum obat atau sekedar minum jamu ramuan tradisional. Yang pasti semua orang pasti pernah merasakan sakit, entah itu parah atau tidak. Begitupun denganku. Semua sakit pernah aku rasakan mulai pusing biasa, sakit gigi, sakit perut, bahkan batuk pilek yang sudah menjadi langganan.Â
Awal aku merasakan sakit ketika aku di pesantren. Awalnya cuma sakit biasa, yaitu sakit punggung yang susah digerakkan. Terkadang kaku jika dibuat untuk ruku' atau jongkok. Dan hal itu sudah saya anggap biasa nanti pasti akan sembuh dengan sendirinya. Sebelumnya aku sudah mencoba kebeberapa panti pijat namun tak ada hasilnya. Dan aku berkeyakinan bahwa akan baik-baik saja.Â
Aku jalani hari-hari seperti biasa, mulai mengajar sekolah pagi, mengajar diniyah dan kegiatan pesantren yang lain. Dengan rasa sakit punggung yang kadang aku lupakan. Karena memang sakitnya tidak begitu terasa. Hanya ketika melakukan kegiatan berat saja.Â
Pergantian musim pada umumnya banyak wabah penyakit, mayoritas batuk-pilek. Apalagi di pesantren dengan santri yang banyak pasri penularannya sangat cepat. Akupun jatuh sakit ketika itu. Hampir satu minggu, namun batukku tidak seperti batuk umumnya. Aku batuk terus menerus sampai didadaku ada benjolan akibat batukku.Â
Tanpa ku sadari sakit punggungku juga masih terasa, tidak berubah. Terkadang jika aku duduk terlalu lama harus pelan-pelan jika berdiri agar tidak sakit. Â Awalnya jika diraba punggungku antara yang kanan dan kiri berbeda, tidak sejajar. Â Entah sejak kapan, punggungku terasa ada yang aneh. Ada benjolan agak melebar yang jika ditekan lunak seperti berisi air. Jika ditekan terasa agak sakit.
Aku masih seperti biasa, menjalani rutinitas sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu benjolan dipunggungku menjadi besar. Hingga membuatku sulit tidur terlentang.
Hingga saatnya ayah dan ibuku tau. Tepatnya hari Jumat, Tanggal 31 Desember 2021, aku dibawa pulang. Dengan keadaanku yang seperti itu aku masih mengelaknya. Aku langsung dibawa priksa, awalnya ke dokter praktek. Namun beliau sudah tidak bisa mengatasi dan menyarankan di bawa ke rumah sakit. Mendengar rumah sakit rasanya tulang belulangku menjadi lunak. Begitupun dengan ibu yang terlihat was-was diwajahnya.Â
Tepat hari Senin, tanggal 3 Januari 2022 aku dibawa ke Pukesmas untuk minta surat rujukan dan dengan harapan masih bisa diatasi disitu. Namun yang terjadi dokter umum di pukesmas  yang menanganinya pun terkejut melihat benjolan dipunggungku. Benjolan itu didiaknosa lipoma penyakit semacam tumor jinak dan disertai Abses.  Dan beliau merujukku ke dokter bedah di rumah sakit umum.
Tidak mau menunda terlalau lama, keesokan harinyapun aku langsung berangkat ke rumah sakit. Dengan fisikku yang sehat aku masih bisa mengurus sendiri. Berhubung ayah dan ibuku tidak berpengalaman masalah yang begini. Sedangkan 2 kakakku sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, ya aku benar-benar harus operasi. Dan 2 hari lagi tepatnya hari kamis aku harus kembali, berhubung jadwal operasi hari Jumat, jam 8 pagi. Akupun langsung ke beri surat pengantar ke IGD. Aku mencoba tegar dan tetap tenang walaupun rumah sakit merupakan hal yang menakutkan.
Waktu itu aku datang kamis sore, 6 Januari 2022 karena masih ada beberapa pemeriksaan. Seperti tes PCR, lab darah dan lain-lain. Disinilah aku sekarang, ruang IGD dengan slang infus yang menjadi gelang tanganku. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan dan ritual sebelum operasi seperti puasa 8 jam sebelum operasi.Â
Hari jumat pagi tepatnya jam 8, jadwal aku operasi. Aku bukan takut akan proses operasi yang aku khawatirkan ibu seperti orang kehilangan arah. Memandang dengan pandangan kosong, semenjak malam hari.Â
Bukan hanya ibuku tapi kedua kakakku juga ikut khawatir. Masih ku ingat raut wajah mereka ketika aku didorong perawat masuk ke ruang operasi. Aku tak tahu lagi bagaimana mereka setelah aku  masuk ke ruang operasi.
Seperti pada umumnya setelah memasuki ruang operasi, aku harus diberi beberapa kabel entah slang yang tak ku tahu fungsinya. Aku hanya nurut apa yang dikatakan oleh dokter dan perawat yang membantu.Â
Setelah mendapat bius total akupun tak tau lagi apa yang mereka lakukan padaku. Setelah hampir kurang lebih satu jam tiba-tiba aku terbangun dan mendengar suara para perawat di ruangan itu. Akupun dibawa kembali ke kamar aku dirawat semula.Â
Terlihat wajah lega di antara ibu dan kedua kakakku, masih dengan wajah ibanya namun tidak seperti ketika memasuki ruangan operasi. Jika ditanya sakit? Tidak ada yang aku rasakan, memang walaupun dalam keadaan sakit aku tetap bisa beraktivitas normal hanya saja badanku bertambah kurus dan mudah capek.Â
Seusai menjalankan operasi di hari jumat. Aku tidur dari siang sampai malam mungkin karena efek obat bius yang aku dapatkan. Hingga keesokan harinya aku diperbolehkan untuk pulang dan selanjutnya dirawat jalan. Untuk memastikan kondisiku. Â
Namun tak hanya berhenti disitu, setelqhnya aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk kontrol. Nyatanya aku tidak hanya kontrol masih pemeriksaan yang lain, dokter masih memastikan kesehatanku yang lain. Seperti harus konsultasi dengan dokter orthopedi karena dikhawatirkan ada penyakit lain dengan melihat hasil ST Scan entahlah apa. Aku tidak begitu faham arah pembicaraanya.
Selain itu aku juga harus melakukan pemeriksaan kepada dokter paru, karena menurut pendapat doktor orthopedi yang menangani, melihat hasil foto CT Scan yang aku lakukan ada sedikit gambar yang mengkhawatikan. Akhirnya beliau menyarankan untuk priksa ke dokter paru.
Itulah menpenggal cerita sekaligus pengalaman bagiku. Dapat ditarik benang merah jangan meremehkan hal-hal yang sepele menurut kita. Ada pepatah lebih baik mencegah dari pada mengobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H