Mohon tunggu...
Choirul Helmi
Choirul Helmi Mohon Tunggu... Administrasi - semangat

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Zonasi

21 Juni 2019   23:06 Diperbarui: 21 Juni 2019   23:31 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak di terapkannya PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru ) berbasis zonasi tahun 2018 oleh Mendikbud,telahmenimbulkan polemik pro dan kontra di masyarakat. Polemik ini semakin memuncak dan mulai ramai di perdebatkan setelahpemerintah semakin memperketat aturan di tahun ini yang  diperkuat lagi dengan Peraturan Mendikbud No.51 tahun2018 tentang PPDB.

Penerapan PPDB berbasis zonasi sesungguhnya tidak perlu kita perdebatkan,apabila kita bisa memahami dan melihat bahwa sekolah yang berada di luar zona perkotaan yang notabene sekolah tidak favorit identik dengan anak didik yang kurang pandai dan minim fasilitas akademik dan non akademik, sehingga anak didik kurang mampu mengembangkan kreatifitas dan membangun karakter kemandiriannya secara maksimal. 

Ketimpangan ini sangat menyolok apabila kita menengok sekolah favorit yang kaya fasilitas, mulai dari fasilitas akademik sampai pada jenis kegiatan ekstrakurikuler yangdimilikinya. Tentunya ketimpangan seperti  ini akan berdampak besar pada kualitas anak-anakdidik kita kedepan.

Kewajiban sekolah menerapkan PPDB sistim zonasi dimana 90 % untuk calon anak didik baru dan jalur prestasi akademik dan non akademik 5 % adalah angka realistis mengingat akan lebih banyak anak didik yang terserap di radius dimana sekolah itu berada, sebagaimana Mendikbud mengatakan bahwa nilai rapor dan nilai Unas bukan menjadi prioritas penerimaan peserta didik baru. Dengan demikian tidak ada lagi sekolah favorit yang hanya menjaring anak-anak didik yang berprestasi dan tidak ada lagi sekolah yang merasa termarjinalkan atau sekolah pinggiran yang selalu mendapatkan anak-anak didik yang tidak terseleksi  di sekolah-sekolah favorit. Harapan kita, moga tidak ada lagi sistim diskriminasi  dalam dunia pendididkan. 

Harusnya sekolah favorit tidak perlu gusar dengan adanya penerapan sistim ini sebab dengan sistim ini akan menimbulkan daya saing tinggi antar sekolah untuk saling berkompetisi baik secara akademis maupun non akademis. Dan bagi anak didik, mereka akan berupaya bersinergi dengan pendidik di sekolah untuk membangun kreatifitas diri agar bisa meningkatkan mutu pendididkan di sekolahnya. Hal akan jauh lebih bermanfaat di bandingkan dengan menggadang-gadang lebel sekolah favorit.Kita yakin bahwa  di dunia ini tidak ada anak yang bodoh,yang ada adalah anak yangbelum pintar dan terdidik dengan fasilitas yang baik.

Tentunya kita setujubahwa apabila memintarkan anak yang pintar, itu biasa. Namun apabila memintarkan anak yang belum pintar, itu baru luar biasa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun