Saya masih ingat betul perasaan pertama kali membaca Bumi Manusia, novel pertama dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini adalah gerbang yang membawa saya ke dunia Pram---seorang penulis yang namanya sering disebut dengan nada kagum, tapi juga kontroversial. Saya mendekatinya dengan rasa penasaran: apa yang membuat novel ini begitu istimewa? Mengapa ia begitu dicintai, tetapi juga sempat dilarang?
Minke, Tokoh yang Resah dan Memberontak
Tokoh utama dalam novel ini, Minke, adalah seorang pribumi terpelajar di era kolonial yang mencoba menegosiasikan identitasnya di antara dua dunia: adat pribumi yang penuh batasan dan dunia modern Eropa yang menjanjikan kebebasan berpikir. Minke didasarkan pada sosok nyata, Tirto Adhi Soerjo, pelopor jurnalisme dan kebangkitan nasional di Hindia Belanda.
Membaca kisah Minke seperti menyaksikan seorang anak muda yang terus-menerus gelisah---terjebak di antara kekaguman pada Barat dan kesadarannya sebagai pribumi yang tertindas. Ia jatuh cinta pada Annelies, gadis keturunan Indo yang memiliki ibu luar biasa, Nyai Ontosoroh. Tetapi kolonialisme tidak hanya merampas hak politik dan ekonomi rakyat pribumi, ia juga mencengkram kehidupan personal. Annelies, meskipun lahir dan besar di Hindia, dianggap "milik" hukum Belanda dan harus tunduk pada aturan yang mencabut kebebasannya.
Konflik ini membuat Bumi Manusia terasa begitu hidup. Di satu sisi, Pram menggambarkan Hindia Belanda dengan detail yang mengesankan: dari suasana sekolah elit HBS hingga realitas kelas sosial yang timpang. Namun di sisi lain, novel ini juga sangat personal---tentang Minke yang terus-menerus berjuang dengan identitasnya, perasaannya, dan pemikirannya.
Nyai Ontosoroh: Perempuan yang Menolak Ditundukkan
Salah satu karakter paling berkesan dalam novel ini adalah Nyai Ontosoroh. Dalam sistem kolonial, seorang nyai---perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pria Eropa---biasanya dipandang rendah. Tetapi Pram justru menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai figur yang kuat dan berdaya. Ia menolak tunduk pada sistem yang menindasnya.
Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang belajar sendiri, membangun kekuatan dari keterpurukan. Meski secara hukum ia tidak memiliki hak atas bisnis atau bahkan anaknya sendiri, ia tetap berdiri tegak melawan ketidakadilan. Figur ini terasa begitu nyata, seperti mewakili banyak perempuan dalam sejarah yang melawan takdir yang seolah sudah ditentukan bagi mereka.
Dalam konteks saat ini, Nyai Ontosoroh bisa dibaca sebagai simbol feminisme awal di Indonesia. Ia bukan hanya karakter dalam novel, tetapi cerminan dari perjuangan banyak perempuan di negeri ini yang tak mau dibungkam oleh adat atau hukum yang tidak adil.
Bumi Manusia sebagai Kritik Sosial