Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ujian Nasional Jangan Jadi Momok Siswa

26 Januari 2025   08:07 Diperbarui: 26 Januari 2025   08:07 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Ujian Nasional - www.disdik.sumbarprov.go.id

Bagi sebagian siswa, mendengar kata "Ujian Nasional" (UN) saja sudah cukup membuat jantung berdegup kencang. Padahal, kalau dipikir-pikir, UN itu cuma ujian biasa, kan? Tapi kenapa bisa terasa begitu menakutkan? Apakah karena soal-soalnya susah? Atau karena nilai UN dianggap penentu nasib masa depan? Nah, mari kita kupas hal ini dengan santai, tapi tetap kritis.

UN dan Stigma "Menakutkan"

Sejak diberlakukan sebagai evaluasi pendidikan nasional, UN kerap menjadi momok. Guru, orang tua, bahkan siswa sendiri sering kali memandang UN sebagai "gerbang akhir" yang menentukan masa depan mereka. Akibatnya, UN dianggap lebih sebagai ancaman daripada alat ukur kemampuan.

Data menunjukkan bahwa tekanan psikologis siswa saat menghadapi UN sangat tinggi. Menurut survei yang dilakukan oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), lebih dari 60% siswa merasa cemas berlebihan menjelang UN. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan siswa yang sakit hingga tidak mau berangkat sekolah karena ketakutan menghadapi ujian ini.

Tentu saja, ini menjadi ironi besar. Bukankah tujuan UN adalah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa secara objektif? Lalu, kenapa justru menciptakan tekanan yang seolah-olah tidak ada jalan keluar?

Kesalahan Paradigma Pendidikan

Salah satu akar masalahnya adalah paradigma pendidikan yang terlalu berfokus pada nilai akhir. Nilai UN sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan siswa, sekolah, bahkan guru. Padahal, pendidikan idealnya tidak sekadar mengukur kemampuan akademik, melainkan juga membangun karakter, kreativitas, dan keterampilan siswa untuk menghadapi dunia nyata.

Selain itu, sistem yang seragam di seluruh Indonesia juga menjadi persoalan. Bagaimana mungkin siswa di daerah terpencil yang infrastrukturnya minim harus bersaing dengan siswa di kota besar yang fasilitas pendidikannya jauh lebih baik? Ketimpangan ini membuat UN tidak sepenuhnya adil.

Di sisi lain, guru sering kali lebih fokus mengajarkan siswa untuk "lulus UN" daripada memahami materi secara mendalam. Alhasil, siswa lebih menghafal pola soal daripada benar-benar memahami konsepnya. Ini jelas tidak sejalan dengan semangat pembelajaran bermakna.

Reformasi UN: Sebuah Harapan Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun