Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengajarkan Sikap Egaliter pada Anak, Bekal untuk Pembelajaran dan Kehidupan Sosial

25 Januari 2025   04:29 Diperbarui: 25 Januari 2025   08:14 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mananamkan makna egaliter pada anak - www.rudicahyo.com

Kemarin menyaksikan Amril anak kedua saya main turnamen futsal antarsekolah, sebagai anak yang pernah mengenyam Sekolah Sepak Bola (SSB) cukup lama dirinya merasa senior dan berpengalaman. Namun, ada sisi negatif yang perlu dibenahi, sering marah-marah ketika temannya melakukan kesalahan dalam melakukan passing ball atau dalam positioning, jadinya mainnya tim kurang konsentrasi dan kurang lepas karena selalu diliputi serba salah dalam mengambil keputusan dan akhirnya timnya mengalami kekalahan.

Turnamen SSB antarsekolah | dok.pri
Turnamen SSB antarsekolah | dok.pri

Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, sikap egaliter menjadi lebih dari sekadar sikap baik—ia adalah kebutuhan. Anak-anak yang tumbuh dengan prinsip kesetaraan cenderung lebih mampu berempati, bekerja sama, dan menghargai perbedaan, baik di ruang kelas maupun dalam kehidupan sosial. Tetapi, bagaimana sebenarnya mengajarkan sikap egaliter ini? Dan seberapa penting dampaknya bagi pembentukan karakter mereka?

Apa Itu Sikap Egaliter?

Sikap egaliter adalah pandangan yang menempatkan semua individu setara dalam hak dan nilai, tanpa memandang latar belakang seperti status sosial, agama, suku, atau jenis kelamin. Anak-anak yang memahami konsep ini sejak dini akan lebih mudah menerima perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Namun, mengajarkan hal ini bukan hanya soal menyuruh anak berbagi atau berteman dengan siapa saja. Sikap egaliter harus menjadi bagian dari nilai hidup yang diterapkan dalam keseharian.

Menurut survei dari UNESCO tahun 2022, lebih dari 70% anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang inklusif dan menghargai keberagaman memiliki tingkat empati dan kerja sama lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan homogen. Data ini menunjukkan bahwa pembiasaan sejak dini memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian anak.

Mulai dari Rumah: Orang Tua sebagai Teladan

Mengajarkan sikap egaliter tidak bisa dilepaskan dari peran orang tua. Anak-anak adalah peniru ulung. Jika orang tua cenderung bersikap diskriminatif atau membuat perbedaan berdasarkan status atau preferensi tertentu, anak akan menyerapnya tanpa disadari.

Contoh sederhana adalah dalam pembagian tugas di rumah. Banyak keluarga masih membagi pekerjaan rumah tangga berdasarkan gender. Anak perempuan sering diminta membantu memasak atau mencuci piring, sementara anak laki-laki diberi tugas fisik seperti mencuci mobil. Padahal, membagi tugas secara merata tanpa memandang gender adalah langkah kecil namun signifikan untuk menanamkan nilai kesetaraan.

Selain itu, cara orang tua memperlakukan orang lain juga penting. Misalnya, bagaimana mereka berbicara dengan pekerja rumah tangga, petugas keamanan, atau penjual di pasar. Jika anak melihat orang tua berbicara dengan sopan tanpa memandang status sosial lawan bicaranya, mereka akan belajar bahwa semua orang layak diperlakukan dengan hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun