Jika Anda pernah berkunjung ke desa-desa di Indonesia, salah satu pemandangan yang hampir selalu hadir adalah hamparan sawah hijau.
Namun, ada satu elemen kecil yang sering kali terabaikan dalam narasi besar swasembada pangan: burung. Ya, burung yang terbang beriringan, hinggap di batang padi, atau sekadar berkicau di atas pematang.
Siapa sangka, ketiganya---desa, padi, dan burung---memiliki hubungan yang lebih kompleks daripada sekadar menjadi ornamen pemandangan indah. Dalam ekosistem pertanian, burung sebenarnya bisa menjadi "kawan" dan "lawan," tergantung dari sudut pandang kita.
Desa: Fondasi Ketahanan Pangan
Desa adalah episentrum dari swasembada pangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 60% populasi Indonesia masih hidup di wilayah perdesaan, dengan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Desa bukan hanya tempat di mana pangan diproduksi, tetapi juga laboratorium hidup bagi inovasi dan praktik keberlanjutan.
Namun, tantangan yang dihadapi desa untuk mendukung swasembada pangan tidaklah sederhana. Modernisasi yang sering kali mengabaikan kearifan lokal menjadi ancaman nyata.
Sawah-sawah perlahan berubah menjadi pabrik atau perumahan, sementara generasi mudanya enggan melanjutkan profesi sebagai petani. Dalam skala nasional, data menunjukkan bahwa luas lahan sawah berkurang sekitar 110 ribu hektar setiap tahunnya sejak 2010.
Lalu, bagaimana desa bisa tetap menjadi benteng pertahanan pangan? Jawabannya adalah revitalisasi desa sebagai pusat agroekosistem berkelanjutan. Di sinilah padi dan burung mengambil peran penting.
Padi: Sang Penopang Kehidupan
Padi adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Dengan konsumsi beras mencapai rata-rata 114 kilogram per kapita per tahun, tak heran jika padi menjadi komoditas strategis.
Namun, produksi padi nasional masih menghadapi tantangan berat, mulai dari perubahan iklim, serangan hama, hingga ketergantungan pada pupuk kimia.
Menurut data Kementerian Pertanian, produksi beras pada 2023 diproyeksikan mencapai 31 juta ton. Meski angka ini terlihat besar, faktanya Indonesia masih mengimpor beras setiap tahunnya.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya produktivitas lahan yang rata-rata hanya 5 ton per hektar, lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam yang mencapai 7 ton per hektar.
Di sinilah desa memegang peranan. Dengan memperkuat sistem pertanian berbasis organik, memberdayakan kelompok tani, dan memanfaatkan teknologi tepat guna, produktivitas padi dapat ditingkatkan secara signifikan. Namun, ada elemen lain yang jarang dibahas tetapi sangat penting: kehadiran burung.
Burung: Musuh atau Sahabat Petani?
Bagi petani, burung sering kali dianggap musuh. Mereka datang bergerombol, memakan bulir padi yang hampir panen, dan dalam hitungan hari, hasil kerja keras berbulan-bulan bisa lenyap. Tak heran jika burung sering menjadi sasaran usir, bahkan diburu. Namun, apakah burung hanya sebatas perusak?
Dalam ekosistem pertanian, burung sebenarnya memainkan peran yang jauh lebih besar. Sebuah penelitian oleh Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa burung dapat membantu mengendalikan populasi serangga hama secara alami. Misalnya, burung pipit dan walet dikenal sebagai predator alami wereng, salah satu hama utama pada tanaman padi.
Masalahnya adalah, ketika populasi burung menurun drastis akibat perburuan atau hilangnya habitat alami, hama menjadi lebih sulit dikendalikan. Petani akhirnya harus mengandalkan pestisida, yang tidak hanya mahal tetapi juga merusak lingkungan dan kesehatan manusia.
Harmoni Ekosistem: Desa, Padi, dan Burung
Jadi, bagaimana caranya menciptakan harmoni antara desa, padi, dan burung? Pertama, penting untuk mengedukasi petani bahwa burung bukanlah musuh, tetapi bagian dari ekosistem yang saling mendukung. Alih-alih memburu burung, petani bisa menciptakan habitat ramah burung di sekitar sawah, seperti menanam pohon peneduh atau membangun tempat bertengger.
Kedua, pendekatan teknologi bisa menjadi solusi. Sistem tanam jajar legowo, misalnya, tidak hanya meningkatkan produktivitas padi tetapi juga memungkinkan burung untuk membantu mengontrol hama secara lebih efektif.
Ketiga, kebijakan pemerintah harus mendukung konservasi burung sekaligus memastikan kesejahteraan petani. Program seperti insentif bagi petani yang menerapkan pertanian berkelanjutan atau subsidi untuk pupuk organik bisa menjadi langkah konkret.
Kesimpulan: Menyemai Masa Depan Swasembada Pangan
Desa, padi, dan burung adalah tiga elemen yang saling terkait dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Desa menyediakan ruang dan tenaga kerja, padi menjadi hasil akhir yang mendukung kebutuhan pangan nasional, sementara burung berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem.
Jika kita mampu menciptakan harmoni antara ketiganya, swasembada pangan bukanlah mimpi yang mustahil. Namun, ini membutuhkan perubahan cara pandang, inovasi teknologi, dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.
Pada akhirnya, desa, padi, dan burung bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga tentang masa depan kehidupan yang lebih harmonis dan berkelanjutan.
Bayangkan, suatu hari kita tidak hanya merayakan panen raya di desa, tetapi juga mendengar kicauan burung sebagai tanda keberhasilan kita menjaga alam. Bukankah itu indah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI