Di sebuah desa kecil yang dikelilingi ladang padi, malam itu, rembulan muncul dengan warna merah menyala. Warga desa terbangun dari tidur mereka, sebagian berbisik takut-takut, sementara yang lain memandang langit dengan takjub. Fenomena langka ini dianggap sebagai pertanda, meski tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya akan terjadi.
Pak Darmo, sesepuh desa yang dikenal bijak, berkumpul dengan beberapa warga di balai desa. "Aku pernah mendengar dari kakekku dulu," katanya dengan suara berat, "rembulan merah adalah peringatan. Katanya, ada yang akan datang, membawa perubahan besar."
Mendengar itu, Bu Surti, seorang penjual jamu, hanya mendesah. "Perubahan apa, Pak? Apakah ini tentang musim? Padi-padi kami sudah hampir siap panen. Jangan sampai ada bencana..."
"Entahlah, Bu Surti. Tapi kita harus berjaga-jaga," jawab Pak Darmo, wajahnya tetap tenang meski matanya menunjukkan kegelisahan.
Di sudut lain desa, seorang pemuda bernama Andi justru melihat rembulan merah dengan penuh rasa penasaran. Berbeda dengan warga lainnya yang sibuk mencari makna mistis, Andi merasa tertantang. Ia gemar membaca buku sains di waktu senggangnya, meski sering diejek teman-temannya.
"Itu pasti ada penjelasannya," gumam Andi. Ia segera mengeluarkan buku astronomi yang ia pinjam dari perpustakaan kota. Halaman demi halaman ia buka, mencari tahu tentang fenomena ini. "Gerhana bulan total, mungkin?" pikirnya. Tapi, mengapa warnanya begitu merah?
Sementara itu, suasana desa semakin tegang. Ayam-ayam berkokok tak henti-henti di tengah malam, anjing-anjing melolong seolah ada sesuatu yang mengganggu. Warga mulai menyalakan obor di depan rumah, berharap cahaya bisa mengusir ketakutan.
Tengah malam, suara lonceng balai desa tiba-tiba berbunyi keras. Semua orang berlarian ke sana, termasuk Andi. Di tengah kerumunan, Pak Darmo berdiri dengan wajah serius. "Ada kabar buruk. Sungai di dekat desa meluap. Kita harus segera bertindak sebelum airnya sampai ke ladang dan rumah-rumah."
Warga mulai panik. Tapi Andi punya ide. Ia mengangkat tangan dan berkata lantang, "Tunggu! Aku tahu kenapa ini terjadi. Aku membaca di buku, rembulan merah ini memang bisa terjadi karena gerhana. Tapi sungai meluap mungkin karena hujan deras di hulu yang kita tidak sadari."
Warga menoleh ke arahnya, beberapa mengerutkan dahi, tak paham apa maksudnya.
"Jadi, kita harus bergerak sekarang untuk membuat tanggul sementara di dekat sungai," lanjut Andi. "Kalau tidak, air akan masuk ke desa."
Pak Darmo mengangguk, merasa ada benarnya ucapan Andi. "Baik, kita ikuti saran Andi. Semua lelaki dewasa ikut ke sungai, bawa karung, bambu, atau apa pun yang bisa kita gunakan untuk menahan air. Para ibu dan anak-anak tetap di rumah, siapkan segala keperluan kalau-kalau kita harus mengungsi."
Malam itu, warga desa bekerja sama di bawah rembulan merah. Andi memimpin para pemuda membuat tanggul darurat dengan karung pasir dan batang bambu. Pak Darmo mengatur warga lainnya, memastikan semuanya berjalan lancar.
Menjelang fajar, air sungai mulai surut. Warga bersorak lega, sementara Andi terduduk lemas di tepi tanggul. Pak Darmo menepuk bahunya sambil tersenyum. "Kau anak muda yang cerdas, Andi. Kalau bukan karena pengetahuanmu, mungkin desa ini sudah kebanjiran."
Andi tersenyum malu-malu. "Saya hanya membaca, Pak. Yang bekerja keras adalah kita semua."
Sejak malam itu, rembulan merah tidak lagi dianggap sebagai pertanda buruk oleh warga desa. Mereka menyadari bahwa apa pun yang terjadi, selama mereka bekerja sama dan mau belajar, setiap masalah pasti bisa diatasi.
Dan Andi, pemuda yang dulunya sering diejek, kini menjadi panutan. Ia membuktikan bahwa ilmu, meski sering dianggap sepele, bisa menjadi penyelamat di saat-saat genting.
Rembulan merah itu akhirnya menjadi kenangan indah, bukan lagi momok menakutkan. Sebuah malam yang mengajarkan keberanian, kebersamaan, dan pentingnya berpikir dengan akal sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI