Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Badan Bank Tanah: Solusi Sejahtera atau Sekadar Mimpi Agraria?

8 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   06:55 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Tanah dan Fungsinya | www.medcom.id

Ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia telah menjadi momok sejak lama. Dari era kolonial hingga sekarang, tanah selalu menjadi sumber konflik, baik itu konflik agraria antara petani dan korporasi, antara masyarakat adat dan pemerintah, atau bahkan antarindividu. Di tengah carut-marut itu, hadir sebuah solusi bernama Badan Bank Tanah, yang digadang-gadang mampu menjawab berbagai masalah agraria sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, apakah solusi ini benar-benar bisa menjadi dewa penyelamat atau justru sekadar tambal sulam kebijakan?

Mengurai Masalah Agraria di Indonesia

Mari kita mulai dengan sebuah fakta menyakitkan: 1% elit Indonesia menguasai 59% tanah produktif di negeri ini. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 juga mencatat, konflik agraria masih terjadi di berbagai wilayah, dengan sekitar 201 kasus konflik pada tahun tersebut, mencakup area lebih dari 500 ribu hektar tanah. Sebagian besar kasus ini melibatkan masyarakat kecil—petani, nelayan, atau masyarakat adat—yang kehilangan hak atas tanah mereka.

Ironisnya, masalah ini sering kali dipicu oleh kebijakan pemerintah sendiri. Misalnya, program land grabbing berkedok pembangunan, seperti pembukaan lahan untuk industri atau infrastruktur, sering kali tidak diimbangi dengan ganti rugi yang layak. Akibatnya, masyarakat kehilangan mata pencaharian, sementara segelintir pihak menikmati keuntungan besar.

Di sisi lain, masalah tanah tidur juga tak kalah pelik. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan bahwa ada jutaan hektar tanah terlantar di Indonesia yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Tanah ini, yang seharusnya bisa digunakan untuk mendukung produktivitas masyarakat, malah menjadi lahan kosong tanpa nilai ekonomi.

Badan Bank Tanah: Solusi Baru atau Lama yang Didaur Ulang?

Badan Bank Tanah lahir dari kebutuhan untuk mengelola tanah secara lebih adil dan efisien. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan tugas utama mengelola, mendistribusikan, dan mengoptimalisasi pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat. Singkatnya, Badan Bank Tanah bertugas menjadi "penengah" antara tanah terlantar dan masyarakat yang membutuhkan lahan.

Ada empat fungsi utama Badan Bank Tanah, yaitu:

  1. Menghimpun tanah: Mengambil alih tanah-tanah terlantar, tanah negara, atau tanah yang tidak dimanfaatkan.
  2. Mendistribusikan tanah: Memberikan tanah kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti petani kecil atau kelompok masyarakat adat.
  3. Mengelola tanah: Mengoptimalkan penggunaan tanah untuk kegiatan produktif, seperti pertanian, perumahan rakyat, atau pembangunan infrastruktur sosial.
  4. Menyelesaikan konflik agraria: Menjadi mediator dalam sengketa tanah.

Secara teori, ini terdengar sangat ideal. Namun, mari kita telaah lebih jauh: bagaimana praktiknya di lapangan?

Kritik dan Tantangan Implementasi

Masalah pertama adalah transparansi. Badan Bank Tanah membutuhkan data yang valid dan terintegrasi untuk memastikan bahwa distribusi tanah benar-benar tepat sasaran. Namun, selama ini, masalah pendataan agraria di Indonesia masih jauh dari kata memuaskan. Misalnya, data mengenai tanah terlantar sering kali tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, bahkan tidak jarang "diwarnai" oleh kepentingan politik atau korupsi.

Kedua, kepastian hukum menjadi isu krusial. Distribusi tanah yang dilakukan Badan Bank Tanah harus disertai dengan sertifikasi yang kuat agar penerima tanah tidak kehilangan haknya di kemudian hari. Namun, kasus penyerobotan tanah oleh korporasi besar atau konflik dengan pemerintah daerah sering kali mengancam hak masyarakat kecil atas tanah yang sudah diberikan.

Ketiga, keberpihakan kepada masyarakat kecil. Apakah Badan Bank Tanah benar-benar memprioritaskan masyarakat kecil atau justru akan menjadi alat bagi para elit? Jika proses distribusi tanah tidak dilakukan secara adil, lembaga ini berpotensi menjadi pintu baru bagi praktik monopoli tanah oleh kelompok tertentu.

Potensi dan Harapan

Meskipun banyak tantangan, Badan Bank Tanah tetap memiliki potensi besar untuk menjadi solusi atas permasalahan agraria di Indonesia. Jika dikelola dengan baik, lembaga ini bisa:

  • Mengurangi ketimpangan: Dengan mendistribusikan tanah kepada petani kecil, Badan Bank Tanah dapat mempersempit jurang ketimpangan penguasaan lahan.
  • Meningkatkan produktivitas: Tanah yang sebelumnya tidak digunakan dapat diolah menjadi lahan pertanian, perikanan, atau perumahan rakyat.
  • Menyelesaikan konflik: Dengan pendekatan yang transparan dan adil, Badan Bank Tanah dapat menjadi mediator yang efektif dalam sengketa agraria.

Namun, kuncinya terletak pada good governance. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada masyarakat kecil harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan Badan Bank Tanah.

Solusi Pendukung: Kolaborasi dan Pengawasan

Untuk memastikan Badan Bank Tanah berjalan sesuai harapan, diperlukan beberapa langkah pendukung, antara lain:

  1. Peningkatan kapasitas kelembagaan: Pemerintah perlu memastikan bahwa Badan Bank Tanah memiliki sumber daya manusia dan teknologi yang memadai untuk mengelola data agraria secara akurat.
  2. Kolaborasi lintas sektor: Badan Bank Tanah harus bekerja sama dengan pemerintah daerah, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan distribusi tanah sesuai kebutuhan.
  3. Pengawasan publik: Peran masyarakat dalam mengawasi implementasi kebijakan Badan Bank Tanah sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Penutup

Badan Bank Tanah adalah sebuah harapan baru di tengah kompleksitas masalah agraria di Indonesia. Namun, harapan ini hanya akan menjadi kenyataan jika lembaga ini dikelola dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Jangan sampai Badan Bank Tanah hanya menjadi solusi di atas kertas atau, lebih buruk lagi, alat baru untuk memperbesar ketimpangan.

Pada akhirnya, tanah bukan sekadar aset ekonomi; ia adalah simbol kedaulatan dan sumber kehidupan. Jika Badan Bank Tanah mampu mengelola tanah dengan adil, bukan hanya konflik agraria yang bisa diselesaikan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang dapat ditingkatkan secara signifikan. Semoga mimpi besar ini tidak berakhir sebagai sekadar wacana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun