Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo melontarkan pernyataan yang bikin heboh: beliau bersedia memaafkan koruptor asalkan mereka mengembalikan uang hasil korupsinya, entah secara terang-terangan atau diam-diam. Dalam sekejap, pernyataan ini memicu perdebatan di berbagai ruang, dari warung kopi hingga media sosial. Ada yang menganggap langkah ini bijak dan pragmatis, ada pula yang menyebutnya sebagai sinyal kelemahan dalam pemberantasan korupsi.
Sebagai rakyat yang hidup dalam bayang-bayang korupsi, wajar jika kita bereaksi keras. Namun, mari kita coba merenung. Apakah pendekatan ini benar-benar solusi? Atau justru membuka ruang bagi korupsi semakin merajalela?
Korupsi dan Budaya Permisif
Korupsi di Indonesia bukan hanya kejahatan, tapi sudah jadi “kebiasaan.” Dari kasus suap kecil hingga mega-korupsi yang nilainya triliunan, seolah-olah ada kesan bahwa mencuri uang rakyat adalah risiko pekerjaan. Beberapa pelaku bahkan dipuja bak pahlawan saat keluar penjara.
Dalam kondisi seperti ini, pernyataan memaafkan koruptor mungkin terdengar manusiawi. Siapa sih yang tidak ingin uang negara kembali? Tapi di sisi lain, ada bahaya besar: budaya permisif semakin mengakar. Ketika hukuman bagi koruptor terasa lunak, apa yang mencegah mereka untuk mencuri lagi?
Bayangkan seorang anak kecil yang ketahuan mencuri permen di toko. Jika hanya diberi teguran tanpa konsekuensi serius, kemungkinan besar ia akan mengulangi perbuatannya. Prinsip yang sama berlaku untuk korupsi. Memaafkan tanpa hukuman setimpal bisa dianggap sebagai lampu hijau untuk mencoba lagi, kali ini dengan cara lebih licik.
Efek Jera atau Efek Domino?
Dalam pemberantasan korupsi, efek jera adalah kunci. Kita ingin calon koruptor berpikir seribu kali sebelum mengambil langkah nekat. Namun, jika koruptor tahu mereka hanya perlu “mengembalikan uang” untuk dimaafkan, apa yang mencegah mereka untuk mencoba peruntungan?
“Ngapain takut? Kalau ketahuan, tinggal balikin aja uangnya,” mungkin begitu pikir mereka. Uang hasil korupsi yang tak terendus tetap bisa dinikmati, sementara hukuman hanya jadi formalitas. Akibatnya, skema korupsi malah berkembang lebih canggih.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah pesan yang sampai ke masyarakat. Ketika pejabat publik dimaafkan meski mencuri uang negara, apa yang mencegah warga biasa untuk mengikuti jejak mereka? Permisivitas terhadap koruptor bisa menciptakan efek domino, di mana integritas menjadi barang langka.