Bagi sebagian besar siswa, ujian nasional (UN) adalah momok menakutkan. Sebuah kata yang seringkali diiringi desah panjang, malam-malam tanpa tidur, dan degup jantung yang tak karuan. Namun, di balik itu semua, ada satu pertanyaan besar: apakah ujian nasional benar-benar memerdekakan?
Mari kita kembali sejenak ke esensi pendidikan. Pendidikan, dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ia adalah proses panjang untuk membentuk individu yang merdeka dalam berpikir, berperilaku, dan berkontribusi bagi masyarakat. Namun, apakah ujian nasional yang selama ini kita kenal sudah sejalan dengan cita-cita ini?
Ujian Nasional: Jejak Masa Lalu
Sistem ujian nasional pertama kali diterapkan di Indonesia pada era 1950-an. Tujuannya sederhana: menstandarisasi kualitas pendidikan di seluruh negeri. Waktu itu, UN dianggap sebagai tolok ukur keadilan, karena siswa di pelosok dan kota besar diuji dengan soal yang sama. Namun, realitas menunjukkan bahwa kesetaraan soal tidak berarti kesetaraan peluang.
Siswa di kota besar yang memiliki akses ke guru berkualitas, fasilitas lengkap, dan buku-buku terbaru jelas berada di posisi yang lebih diuntungkan dibanding siswa di daerah terpencil. Akibatnya, UN lebih sering dianggap sebagai ajang kompetisi tidak sehat daripada proses pengukuran kemampuan sejati.
Beban Psikologis dan Paradigma Pendidikan
Salah satu kritik terbesar terhadap UN adalah tekanan psikologis yang dirasakan siswa. Bayangkan, hasil belajar selama tiga tahun diringkas dalam beberapa jam ujian. Kegagalan di UN seringkali dipandang sebagai kegagalan total, baik oleh siswa, guru, maupun orang tua.
Ini berlawanan dengan konsep pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan seharusnya membentuk individu yang percaya diri, bukan yang dihantui rasa takut. Sayangnya, UN kerap menjadi simbol tekanan daripada kebebasan berpikir.
Selain itu, UN juga mempersempit makna belajar. Alih-alih menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas, siswa justru terjebak dalam pola belajar hafalan demi mencapai nilai tinggi. Padahal, di era global seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah jauh lebih penting daripada sekadar mengingat fakta.
Menuju Ujian yang Memerdekakan
Lantas, bagaimana seharusnya ujian nasional dirancang agar benar-benar memerdekakan? Pertama, perlu ada perubahan paradigma. Ujian bukan lagi sekadar alat untuk mengukur pengetahuan, melainkan cara untuk menilai kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan nyata.