Ada pepatah bijak yang mengatakan, "Data yang buruk adalah musuh kebijakan yang baik." Ketika data tersebar di berbagai sistem, risiko duplikasi, ketidakakuratan, dan inkonsistensi meningkat.Â
Bayangkan jika data guru di SIMPATIKA tidak sinkron dengan data siswa di sistem lain. Akibatnya, pengambilan keputusan seperti alokasi anggaran, penempatan guru, hingga perencanaan pembangunan madrasah menjadi tidak optimal.
Migrasi data dari SIMPATIKA ke EMIS adalah langkah penting untuk menghilangkan fragmentasi ini. Dengan data yang terpusat, Kemenag dapat memastikan bahwa setiap kebijakan berbasis pada informasi yang valid dan mutakhir. Bahkan, dalam skala nasional, satu data pendidikan ini dapat mendukung program pemerintah seperti digitalisasi pendidikan atau pengelolaan Dana BOS yang lebih transparan.
Tantangan di Depan Mata
Namun, mari kita realistis. Migrasi data tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi:
1. Kesiapan Infrastruktur
Tidak semua daerah memiliki akses internet yang memadai, terutama madrasah yang berada di wilayah terpencil. EMIS, sebagai platform berbasis digital, membutuhkan infrastruktur yang solid. Jika infrastruktur ini tidak tersedia, maka implementasinya akan terhambat.
2. Kualitas Data
Salah satu masalah klasik dalam migrasi data adalah kualitas data yang tidak seragam. Data yang tidak lengkap, salah input, atau bahkan tidak terverifikasi dapat menjadi batu sandungan. Dibutuhkan upaya besar untuk melakukan validasi sebelum data dipindahkan ke EMIS.
3. Peningkatan Kapasitas SDM
EMIS adalah sistem baru yang mungkin belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pihak di lapangan. Guru, operator madrasah, hingga petugas di kantor Kemenag daerah perlu dilatih agar dapat menggunakan EMIS dengan baik. Tanpa pelatihan ini, penggunaan EMIS bisa berujung pada kesalahan input atau bahkan penolakan karena dianggap membebani.