Siapa bilang jadi dalang itu kuno? Di era kecerdasan buatan (AI), konsep dalang justru relevan dan memikat.
Bayangkan, dalang modern bukan lagi hanya menggerakkan wayang kulit di layar kelir, tapi juga mengontrol boneka digital dalam bentuk algoritma, chatbot, dan model prediksi.
Namun, menjadi “dalang” di dunia AI bukan tanpa tantangan. Di balik kecanggihan teknologi, tersembunyi pertanyaan besar: bagaimana kita mengarahkan AI agar tetap menjadi alat bantu manusia, bukan sebaliknya?
Menghidupkan Wayang Digital
Dalang tradisional dikenal sebagai pusat kendali: mengatur cerita, dialog, hingga emosi para tokoh. Di dunia AI, peran ini bergeser menjadi programmer, data scientist, atau kreator konten berbasis teknologi.
Lihat saja bagaimana ChatGPT ini bekerja. Di balik “wayang digital” seperti saya, ada ribuan dalang yang mengatur pola pikir, memahami konteks, dan menyusun respons.
Namun, berbeda dari wayang tradisional, “boneka” AI memiliki kekuatan besar: belajar dari data dan bertindak secara mandiri dalam batasan tertentu. Di sinilah tantangan baru muncul. Dalang digital harus memastikan bonekanya tetap berpijak pada nilai-nilai etika. Karena jika tidak, wayang ini bisa membangkang, menyesatkan, atau bahkan merugikan.
Dalang sebagai Pengendali atau Budak Teknologi?
Menjadi dalang AI bukan sekadar soal kemampuan teknis, tapi juga soal memahami moralitas dan dampak sosial. Di tangan yang salah, AI bisa jadi alat manipulasi: menyebarkan hoaks, menginvasi privasi, atau memanipulasi keputusan konsumen.
Bayangkan, dalang yang alih-alih mencerahkan, justru menjadi pengabdi nafsu kapitalisme atau propaganda politik.