Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala AFF: Piala Chiki atau Kebanggan Regional?

23 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 23 Desember 2024   07:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turnamen Piala AFF 2024 | www.tribunnews.com

Setelah timnas Indonesia gagal melaju ke babak semifinal piala AFF 2024, perlu kita renungkan kembali, apa arti turnamen sepakbola di Asia tenggara ini bagi timnas Indonesia.

Ketika mendengar seseorang menyebut Piala AFF sebagai "Piala Chiki," rasanya seperti dilempar batu sambil disuguhi keripik. Lucu, tapi nyelekit. Istilah ini sering muncul dari mereka yang menganggap turnamen sepak bola Asia Tenggara ini kurang prestisius. Tapi, apakah anggapan itu benar? Atau justru kita perlu memandang Piala AFF dengan perspektif yang lebih fair? Mari kita kupas dengan gaya ringan, tapi tetap serius.

Kenapa Disebut Piala Chiki?

Sebutan ini sebenarnya bercampur antara sindiran dan realitas. Piala AFF dianggap "cuma" turnamen regional, dengan cakupan negara-negara Asia Tenggara yang, jika dibandingkan dengan raksasa sepak bola dunia, masih merangkak. Tidak ada nama besar seperti Brasil atau Jerman di sini. Lalu, trofi yang diperebutkan sering dianggap "sekedar" penghargaan kelas lokal, semacam hadiah tambahan saat beli snack Chiki di minimarket.

Pendukung anggapan ini biasanya mengacu pada dua hal: minimnya sorotan dunia terhadap Piala AFF dan kegagalan banyak negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berbicara banyak di panggung sepak bola internasional. Mereka berpikir, "Ngapain bangga? Juara di kandang sendiri saja susah, apalagi di luar."

Tunggu Dulu, Apa Salahnya Kompetisi Regional?

Jika mau jujur, menyebut Piala AFF sebagai "Piala Chiki" sebenarnya meremehkan upaya negara-negara Asia Tenggara membangun sepak bola mereka. Sepak bola bukan hanya soal gengsi, tapi juga soal identitas. Turnamen seperti Piala AFF adalah panggung bagi negara-negara kecil untuk unjuk gigi. Tidak semua negara punya privilese seperti Inggris dengan Premier League-nya atau Eropa dengan Champions League-nya.

Bagi negara seperti Laos, Kamboja, atau Timor Leste, Piala AFF adalah kesempatan langka untuk bertanding di level kompetitif. Bahkan bagi Indonesia, Piala AFF adalah momen untuk menyatukan harapan publik yang seringkali terpecah oleh isu lain. Saat Timnas berlaga, semua jadi satu: orang desa, kota, bahkan lintas suku dan agama.

Piala AFF dan Semangat Nasionalisme

Setiap kali Piala AFF digelar, atmosfer di Indonesia selalu berubah. Mendadak, jersey merah-putih laris manis, layar-layar besar dipasang di mana-mana, dan hashtag #GarudaDiDadaku menggema di media sosial. Ketika gol tercipta, seluruh negeri bersorak, seolah semua masalah hilang sejenak.

Lalu, bagaimana mungkin sesuatu yang mampu menyatukan bangsa disebut sebagai "Piala Chiki"? Kita sering lupa bahwa olahraga, terutama sepak bola, bukan semata-mata soal menang-kalah. Sepak bola adalah cerita tentang perjuangan, solidaritas, dan kebanggaan. Piala AFF memberikan itu semua kepada kita.

Bicara Prestise: Apakah Piala AFF Tidak Penting?

Memang, jika dibandingkan dengan Piala Asia atau Piala Dunia, Piala AFF terasa seperti langkah awal. Tapi bukankah setiap perjalanan dimulai dari langkah kecil? Negara-negara yang kini jadi raksasa sepak bola pun memulai dari level regional. Contoh nyata adalah Jepang dan Korea Selatan. Sebelum mereka merajai Asia, mereka juga sempat fokus memperbaiki kompetisi lokal dan regional.

Piala AFF juga menjadi tolok ukur perkembangan sepak bola di Asia Tenggara. Jika Indonesia berhasil juara (semoga suatu saat nanti!), itu bukan hanya soal gengsi, tapi juga bukti bahwa pembinaan sepak bola kita berada di jalur yang benar.

Sikap yang Seharusnya

Daripada meremehkan Piala AFF, kita seharusnya memanfaatkannya sebagai momen untuk belajar dan berbenah. Ya, kita boleh kecewa karena belum pernah juara. Tapi bukan berarti turnamen ini tidak penting. Kegagalan di masa lalu adalah pelajaran, bukan alasan untuk menyerah atau meremehkan.

Sebutan "Piala Chiki" sebenarnya lebih mencerminkan mentalitas kita sendiri yang sering terburu-buru menilai rendah sesuatu. Kita lupa bahwa kemenangan besar selalu diawali dari perjuangan kecil. Kalau kita terus meremehkan, kapan sepak bola kita bisa berkembang?

Kesimpulan

Apakah Piala AFF pantas disebut "Piala Chiki"? Jawabannya tergantung dari sudut pandang kita. Jika kita hanya melihat gengsi internasional, mungkin iya. Tapi jika kita memahami esensi kompetisi ini sebagai ajang pembelajaran, persatuan, dan kebanggaan regional, sebutan itu jelas tidak adil.

Sebagai pecinta sepak bola, mungkin saatnya kita berhenti sibuk memberi label dan mulai memberi dukungan penuh. Siapa tahu, dengan dukungan itu, suatu saat kita tak hanya bangga di Piala AFF, tapi juga di panggung dunia. Dan kalau juara nanti, jangan lupa traktir teman-teman Chiki, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun