Tanggal 22 Desember bukan sekadar lembaran biasa di kalender. Hari itu, Indonesia memperingati Hari Ibu, sebuah momentum untuk mengenang perjuangan para ibu, perempuan tangguh yang tak kenal lelah membangun pondasi keluarga dan masyarakat. Namun, bagi saya, 22 Desember tahun ini terasa istimewa—lebih dari sekadar Hari Ibu. Hari ini adalah hari saya diwisuda, menutup perjalanan panjang studi S2 yang penuh tantangan.
Bayangkan, mengenakan toga di sebuah aula besar, lampu-lampu terang menyinari ruangan, dan deretan kursi penuh dengan orang-orang yang berseri-seri. Di tengah gemuruh tepuk tangan, saya duduk merenung. Gelar ini bukan semata milik saya. Ini adalah gelar ibu saya juga—perempuan sederhana yang menjadi kekuatan tak kasat mata di setiap langkah saya.
Perjalanan yang Tidak Mudah
Menyelesaikan studi S2 tentu bukan perkara ringan. Kuliah malam, tugas bertumpuk, dan penelitian yang sering kali terasa mustahil. Belum lagi harus membagi waktu dengan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Ada momen-momen di mana saya merasa ingin menyerah.
Namun, di setiap kebuntuan, selalu ada satu suara yang terngiang: “Kalau kamu capek, istirahat. Tapi jangan berhenti. Ingat, kita ini keluarga pejuang.” Itu suara ibu saya. Dengan kesederhanaannya, beliau adalah motivator terbaik. Saat kecil, saya sering melihat beliau bekerja keras demi memastikan kami tetap bersekolah. Baginya, pendidikan adalah pintu menuju masa depan.
Ketika akhirnya saya memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, ibu menjadi pendukung utama. Meski tak pernah mengecap bangku kuliah, beliau paham betul bahwa belajar adalah investasi yang tidak pernah rugi.
Hari Wisuda, Hari Ibu
Wisuda ini bukan sekadar perayaan akademik; ini adalah persembahan untuk ibu. Hari ini saya berdiri di sini berkat doa-doanya yang tak pernah putus. Saya masih ingat bagaimana beliau setiap malam mendoakan saya agar diberikan kemudahan. Saat saya begadang menyelesaikan tesis, ibu sering terbangun hanya untuk memastikan saya sudah makan atau sekadar menawarkan secangkir teh hangat.
Ketika nama saya dipanggil untuk menerima ijazah, ingatan saya melayang ke masa lalu. Saya teringat tangan-tangan beliau yang dulu kerap menyiapkan bekal untuk sekolah, menambal pakaian yang sobek, atau mengusap air mata saya saat gagal. Hari ini, tangan itulah yang saya genggam erat di sela-sela prosesi wisuda.
Makna Gelar dan Hari Ibu
Banyak orang berpikir gelar akademik adalah simbol kesuksesan pribadi. Namun, bagi saya, gelar ini adalah simbol dari cinta, pengorbanan, dan nilai-nilai yang diajarkan ibu. Beliau selalu mengatakan, "Ilmu itu untuk memberi manfaat, bukan untuk sekadar pamer."
Momentum wisuda yang bertepatan dengan Hari Ibu ini mengingatkan saya pada betapa pentingnya peran seorang ibu dalam membentuk karakter dan perjalanan hidup anak-anaknya. Gelar S2 ini mungkin terpampang di belakang nama saya, tapi sesungguhnya ia milik ibu saya juga.
Refleksi dan Harapan
Di akhir prosesi wisuda, saya memberikan bunga kepada ibu. Air matanya berlinang, tetapi senyumnya tetap merekah. "Ibu bangga," katanya. Namun, dalam hati, sayalah yang lebih bangga memiliki ibu seperti beliau.
Perjalanan ini bukanlah akhir. Gelar ini bukan garis finish, melainkan awal dari tanggung jawab baru. Ilmu yang saya peroleh harus menjadi manfaat bagi masyarakat, seperti yang selalu ibu ajarkan.
Wisuda di Hari Ibu adalah pengingat bahwa setiap pencapaian besar tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari cinta, doa, dan dukungan orang-orang di sekitar kita, terutama seorang ibu.
Jadi, untuk semua ibu di luar sana, terima kasih atas cinta tanpa syarat yang kalian berikan. Dan untuk kita yang diberkahi dengan kehadiran ibu, jangan pernah lupa bahwa setiap langkah kita adalah cerminan dari perjuangan mereka.
Hari ini, di momen wisuda ini, saya hanya ingin berkata, “Terima kasih, Bu. Gelar ini untukmu.”
Malang, 22 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H