Seorang pemuda berdiri di tengah forum Ansor, matanya penuh antusias. “Kapan lagi kita bangkit kalau tidak sekarang? Kita punya potensi, kita punya jaringan, tapi kenapa selalu tergantung pada bantuan luar?” Suasana mendadak hening. Kalimatnya menusuk langsung ke inti: bagaimana Ansor bisa mandiri jika terus bergantung pada donasi dan uluran tangan? Inilah titik awal pemikiran tentang Badan Usaha Milik Ansor (BUMA).
BUMA bukan sekadar badan usaha, tetapi juga gerakan untuk membangun jiwa enterpreneur dalam tubuh organisasi. BUMA adalah jawaban atas pertanyaan, “Bagaimana Ansor bisa bertahan di tengah tantangan zaman?” Lewat BUMA, Ansor tidak hanya diajak menjadi organisasi yang survive, tetapi thrive—tumbuh dan berdiri di atas kaki sendiri.
Mengapa Jiwa Enterpreneur Itu Penting?
Enterpreneurship bukan hanya soal berdagang atau menghasilkan keuntungan. Jiwa enterpreneur adalah kemampuan melihat peluang di tengah keterbatasan, berinovasi dalam setiap tantangan, dan menciptakan nilai tambah untuk lingkungan sekitar. Inilah yang dibutuhkan oleh organisasi seperti Ansor.
Di era modern, tantangan organisasi kepemudaan semakin kompleks. Ansor bukan hanya dituntut aktif di bidang sosial dan agama, tetapi juga harus mampu membiayai program-programnya secara mandiri. Jika setiap kegiatan harus menunggu dana bantuan, program-program yang hebat sering kali hanya tinggal rencana.
BUMA hadir sebagai katalisator untuk membangun kemandirian ini. Melalui usaha-usaha yang digerakkan secara profesional, Ansor dapat menjalankan misinya tanpa terlalu khawatir soal pendanaan.
Langkah Awal: Dari Keterbatasan Menuju Peluang
“Jadi, apa yang bisa kita jual?” adalah pertanyaan yang sering muncul di awal pembentukan BUMA. Jawabannya ternyata sederhana: apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat.
BUMA dapat dimulai dari usaha kecil yang dekat dengan kebutuhan anggota dan masyarakat. Misalnya:
1. Pertanian Modern: Memanfaatkan lahan yang ada untuk pertanian organik, melibatkan anggota sebagai pelaksana.