Di suatu pagi, tetangga saya, Pak Tono, datang sambil membawa kantong plastik berisi kangkung segar. "Ini hasil panen, Mas," katanya dengan bangga.Â
Saya tahu persis halaman rumah Pak Tono hanya seukuran karpet kecil, tapi di sanalah ia menyulap pot-pot bekas dan pipa paralon menjadi taman hidroponik mini.Â
Hasilnya? Cukup untuk memenuhi kebutuhan sayur keluarganya dan berbagi dengan tetangga.
Pak Tono adalah bukti nyata bahwa bertani tidak membutuhkan hektar-hektar tanah luas. Dalam keterbatasan ruang, kreativitas dan tekad justru menjadi alat paling ampuh.Â
Tapi, di luar kisah Pak Tono, kita masih sering mendengar anggapan bahwa bertani adalah urusan pedesaan atau sesuatu yang membutuhkan lahan besar. Apakah benar demikian?
Bertani Tak Lagi Butuh Sawah
Di era urbanisasi, di mana ruang hijau semakin terkikis oleh beton dan aspal, bertani justru menemukan bentuk barunya. Sistem seperti urban farming dan vertical farming kini memungkinkan siapa saja untuk menanam bahkan di lahan seluas balkon apartemen. Teknologi seperti hidroponik dan aquaponik membuat kita bisa menanam tanpa tanah, hanya dengan air yang diberi nutrisi.
Sebagai contoh, kota-kota besar seperti Singapura dan Tokyo telah membuktikan hal ini. Mereka mengembangkan kebun vertikal di dinding gedung pencakar langit, memanfaatkan setiap inci ruang yang ada. Tidak hanya efisien, metode ini juga berkontribusi pada pengurangan jejak karbon karena hasil panen langsung dikonsumsi di lokasi terdekat.
Namun, teknologi canggih bukan satu-satunya solusi. Di Indonesia, kita memiliki warisan tradisional seperti tabulampot (tanaman buah dalam pot) atau kebun mini menggunakan botol plastik bekas. Jadi, mengapa tidak kita coba?
Mengatasi Kendala dan Mitos