Bayangkan sebuah desa kecil di pelosok negeri, tempat di mana bank-bank besar dengan bangunan megah dan kaca mengilap hanya ada dalam imajinasi. Di sana, transaksi keuangan sering kali dilakukan dengan cara tradisional—utang dari tetangga, tabungan di bawah bantal, atau barter hasil kebun. Bagi sebagian besar penduduk, akses terhadap layanan keuangan formal adalah kemewahan yang jauh dari jangkauan. Nah, di tengah keterbatasan itu, hadir sebuah solusi lokal yang akarnya tak sekadar ekonomi, tetapi juga kepercayaan dan kebersamaan: Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Mengapa BMT?
BMT adalah lembaga keuangan mikro berbasis syariah yang sering digambarkan sebagai “bank mini” di tingkat komunitas. Namun, jangan anggap remeh ukurannya. Dengan struktur yang fleksibel dan pendekatan personal, BMT mampu menjangkau masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari sistem keuangan formal. Misalnya, ibu-ibu rumah tangga yang ingin memulai usaha kecil-kecilan, petani yang membutuhkan modal untuk membeli bibit, atau pedagang keliling yang mencari pinjaman tanpa bunga mencekik.
Keunggulan BMT terletak pada model inklusifnya. Bukan hanya soal transaksi keuangan, tetapi juga soal mendidik masyarakat tentang pentingnya literasi keuangan. Di sini, BMT tidak sekadar menjadi tempat meminjam uang, tetapi juga mitra yang mendampingi nasabah untuk memahami pengelolaan keuangan.
Tantangan di Lapangan
Namun, perjalanan membangun ekosistem keuangan inklusif melalui BMT tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya regulasi dan pengawasan yang memadai. Banyak BMT yang beroperasi secara mandiri, tanpa perlindungan yang kuat dari pemerintah. Akibatnya, risiko kebangkrutan atau penyalahgunaan dana cukup tinggi.
Selain itu, masih ada stigma yang melekat pada layanan keuangan mikro. Sebagian masyarakat, terutama di perkotaan, menganggap BMT hanya cocok untuk “golongan kecil” atau “mereka yang tidak punya pilihan lain.” Padahal, konsep inklusivitas justru ingin membuktikan bahwa layanan keuangan adalah hak semua orang, bukan sekadar privilege.
Membingkai Keuangan Inklusif
Inklusi keuangan bukan sekadar memberikan akses ke rekening bank atau pinjaman. Ini tentang menciptakan ekosistem di mana setiap individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau pendidikan, memiliki kesempatan untuk memanfaatkan layanan keuangan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup.
Dalam konteks ini, BMT bisa menjadi katalisator. Dengan model pembiayaan berbasis syariah, BMT mengedepankan nilai-nilai seperti keadilan, transparansi, dan solidaritas. Misalnya, sistem bagi hasil yang diterapkan BMT mencegah praktik riba yang sering kali membebani nasabah kecil. Selain itu, karena operasinya berbasis komunitas, BMT lebih memahami kebutuhan spesifik dari masyarakat yang dilayaninya.
Ambil contoh program pembiayaan usaha mikro di sebuah desa di Jawa Timur. Dengan modal hanya beberapa juta rupiah, seorang ibu rumah tangga berhasil mengembangkan bisnis keripik pisang yang kini dipasarkan hingga ke luar kota. Lebih dari sekadar keuntungan finansial, keberhasilan ini menciptakan efek domino: lapangan kerja baru, penguatan ekonomi lokal, dan kebanggaan komunitas.
Langkah-Langkah Strategis
Agar ekosistem keuangan inklusif melalui BMT semakin kokoh, diperlukan langkah-langkah strategis.
1. Penguatan Regulasi
Pemerintah harus hadir sebagai mitra strategis BMT, memberikan regulasi yang melindungi sekaligus mendorong pertumbuhan. Misalnya, dengan menyediakan akses pembiayaan murah atau memberikan insentif pajak untuk BMT yang berprestasi.
2. Peningkatan Literasi Keuangan
Tidak cukup hanya menyediakan layanan, masyarakat juga perlu diajari cara mengelola keuangan secara bijak. Program edukasi keuangan berbasis komunitas bisa menjadi solusi.
3. Digitalisasi Layanan
Di era teknologi, BMT perlu beradaptasi dengan digitalisasi. Aplikasi keuangan berbasis syariah, misalnya, dapat membantu menjangkau lebih banyak nasabah tanpa harus membuka kantor fisik.
4. Kolaborasi dengan Institusi Lain
BMT tidak bisa berjalan sendiri. Kolaborasi dengan koperasi, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah dapat memperkuat dampak yang dihasilkan.
Penutup: Asa dari Pinggir
BMT adalah bukti bahwa inklusi keuangan tidak harus dimulai dari kota besar atau gedung pencakar langit. Justru dari desa-desa kecil, dari orang-orang yang sering kali dilupakan, ekosistem ini bisa tumbuh. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan nilai-nilai keadilan, BMT bukan hanya menjembatani kesenjangan keuangan, tetapi juga menumbuhkan harapan dan martabat.
Jadi, jika ditanya, apakah kita bisa membangun ekosistem keuangan inklusif melalui BMT? Jawabannya adalah: tidak hanya bisa, tapi harus. Sebab inklusivitas sejati adalah tentang menjemput asa dari pinggir, bukan sekadar mempercantik yang sudah di tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H