Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pladu: Antara Tradisi, Alam dan Harapan di Sepanjang Bengawan Solo

12 Desember 2024   15:42 Diperbarui: 12 Desember 2024   15:42 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pladu atau Munggut di Bengawan Solo | dokpri Afifudin 


Di sepanjang Bengawan Solo, ada satu momen yang selalu dinanti warga setempat: pladu. Bagi mereka yang hidup di bantaran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini, pladu bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah momen penuh keajaiban dan harapan, ketika air pasang dan ikan sungai banyak yang mabuk yang biasanya tersembunyi mulai terlihat karena air yang tiba-tiba meningkat drastis. Namun, di balik euforia ini, ada banyak hal yang menarik untuk dicermati, mulai dari aspek tradisi hingga lingkungan.

Apa Itu Pladu?

Secara sederhana, pladu adalah saat di mana debit air Bengawan Solo meningkat drastis, biasanya terjadi di awal musim penghujan. Ketika ini terjadi, air sungai yang biasanya dangkal mulai naik drastis, memunculkan air keruh dan lumpur yang sering kali dimanfaatkan warga sekitar untuk berburu ikan yang mabuk dan terjebak di cekungan air, mencari barang-barang yang mungkin terbawa arus, atau bahkan sekadar menikmati pemandangan yang jarang terjadi.

Namun, bagi sebagian besar warga, pladu memiliki makna ekonomi yang dalam. Banyak dari mereka memanfaatkan momen ini untuk mengambil pasir dari dasar sungai. Pasir tersebut dijual untuk bahan bangunan, menjadi sumber penghasilan tambahan. Di sisi lain, anak-anak menjadikan pladu sebagai waktu bermain, melompat-lompat di atas pasir atau bermain air di cekungan dangkal.

Suasana Pladu di Bengawan Solo | dokpri
Suasana Pladu di Bengawan Solo | dokpri


Antara Tradisi dan Modernitas

Di tengah modernisasi yang terus merangsek ke desa-desa di sepanjang Bengawan Solo, pladu tetap bertahan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Fenomena ini seperti ritual tahunan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Orang tua mengajarkan anak-anak mereka cara menangkap ikan dengan tangan kosong, cara membaca aliran air untuk menemukan titik cekungan, dan—ini yang menarik—cara bersyukur atas apa yang diberikan alam.

Namun, modernitas juga membawa tantangan. Permintaan pasir yang tinggi telah memicu praktik eksploitasi sungai secara berlebihan. Jika dahulu pladu menjadi momen warga berinteraksi langsung dengan alam secara harmonis, kini banyak yang melihatnya sebagai peluang ekonomi semata. Alat berat mulai digunakan, merusak ekosistem sungai yang rapuh.

Dampak Lingkungan yang Tak Terelakkan

Tidak dapat dimungkiri, pladu menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini menjadi berkah ekonomi bagi warga. Namun, di sisi lain, praktik pengambilan pasir yang tak terkendali bisa membawa bencana. Pengikisan dasar sungai dapat menyebabkan erosi tebing, memperlemah struktur sungai, hingga meningkatkan risiko banjir di musim hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun