Di sepanjang Bengawan Solo, ada satu momen yang selalu dinanti warga setempat: pladu. Bagi mereka yang hidup di bantaran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini, pladu bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah momen penuh keajaiban dan harapan, ketika air pasang dan ikan sungai banyak yang mabuk yang biasanya tersembunyi mulai terlihat karena air yang tiba-tiba meningkat drastis. Namun, di balik euforia ini, ada banyak hal yang menarik untuk dicermati, mulai dari aspek tradisi hingga lingkungan.
Apa Itu Pladu?
Secara sederhana, pladu adalah saat di mana debit air Bengawan Solo meningkat drastis, biasanya terjadi di awal musim penghujan. Ketika ini terjadi, air sungai yang biasanya dangkal mulai naik drastis, memunculkan air keruh dan lumpur yang sering kali dimanfaatkan warga sekitar untuk berburu ikan yang mabuk dan terjebak di cekungan air, mencari barang-barang yang mungkin terbawa arus, atau bahkan sekadar menikmati pemandangan yang jarang terjadi.
Namun, bagi sebagian besar warga, pladu memiliki makna ekonomi yang dalam. Banyak dari mereka memanfaatkan momen ini untuk mengambil pasir dari dasar sungai. Pasir tersebut dijual untuk bahan bangunan, menjadi sumber penghasilan tambahan. Di sisi lain, anak-anak menjadikan pladu sebagai waktu bermain, melompat-lompat di atas pasir atau bermain air di cekungan dangkal.
Antara Tradisi dan Modernitas
Di tengah modernisasi yang terus merangsek ke desa-desa di sepanjang Bengawan Solo, pladu tetap bertahan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Fenomena ini seperti ritual tahunan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Orang tua mengajarkan anak-anak mereka cara menangkap ikan dengan tangan kosong, cara membaca aliran air untuk menemukan titik cekungan, dan—ini yang menarik—cara bersyukur atas apa yang diberikan alam.
Namun, modernitas juga membawa tantangan. Permintaan pasir yang tinggi telah memicu praktik eksploitasi sungai secara berlebihan. Jika dahulu pladu menjadi momen warga berinteraksi langsung dengan alam secara harmonis, kini banyak yang melihatnya sebagai peluang ekonomi semata. Alat berat mulai digunakan, merusak ekosistem sungai yang rapuh.
Dampak Lingkungan yang Tak Terelakkan
Tidak dapat dimungkiri, pladu menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini menjadi berkah ekonomi bagi warga. Namun, di sisi lain, praktik pengambilan pasir yang tak terkendali bisa membawa bencana. Pengikisan dasar sungai dapat menyebabkan erosi tebing, memperlemah struktur sungai, hingga meningkatkan risiko banjir di musim hujan.