Setelah beberapa kali gagal, aku akhirnya menemukan sesuatu yang menyerupai jamur. Bulat, kecil, dan tumbuh di tanah lembap di bawah rumpun bambu. "Jon! Aku nemu!"
Joni langsung meluncur seperti pemain bola yang merayakan gol. Dia memeriksa temuanku dengan ekspresi serius. "Mantap! Ini baru jamur bulan asli!"
Kami melanjutkan pencarian dengan penuh semangat. Kadang menemukan jamur kecil-kecil, kadang cuma menemui tanah kosong. Tapi bagi kami, itu bukan masalah. Kebersamaan dan candaan yang terus mengalir membuat waktu terasa singkat.
Jam enam pagi, tas kain Joni sudah lumayan penuh. Aku? Ya, ada beberapa jamur di plastik kresekku, tapi tidak seberapa dibandingkan milik Joni. "Jon, kok kamu selalu lebih banyak nemunya?" tanyaku, penasaran.
Joni menepuk bahuku dengan gaya sok bijak. "Rahasia sukses itu ada di mata. Kamu harus melihat dengan hati, bukan cuma mata biasa."
Aku memutar mata. "Ah, alesan aja! Pasti kamu udah tahu tempat rahasia, kan?"
Dia tertawa. "Ya iyalah. Aku kan senior di dunia perjamuran!"
Namun, di balik ledekan dan candaan itu, aku tahu Joni adalah teman yang setia. Kalau aku kesulitan, dia selalu datang membantu. Ketika aku hampir tergelincir di tanah licin, dia langsung menarik tanganku. "Hati-hati, jangan sampai jamurnya jatuh," katanya, setengah bercanda.
Di perjalanan pulang, kami duduk sebentar di bawah pohon besar di pinggir jalan. Aku menatap jamur-jamur di plastikku, sementara Joni memeriksa "harta karun"-nya dengan penuh kebanggaan.
"Jon, sebenarnya, kenapa kamu suka banget nyari jamur bulan?" tanyaku.
Dia merenung sejenak, lalu menjawab, "Karena seru. Jamur bulan itu kecil, susah dicari, tapi kalau ketemu, rasanya puas banget. Sama kayak teman baik. Kadang susah dicari, tapi kalau udah ketemu, kita harus jaga."