Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebungkus Nasi Jagung

7 Desember 2024   12:54 Diperbarui: 7 Desember 2024   13:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebungkus Nasi Jagung | Dokumentasi Pribadi 

Tahun 90-an adalah masa di mana mimpi seorang bocah seperti aku sederhana saja: ingin makan nasi putih dengan ayam goreng setiap hari. Tapi apa daya, di desa kecil kami, yang ada hanya nasi jagung. Dan bukan sekadar nasi jagung biasa, tapi yang sudah dikepal dan dibungkus daun pisang.

Pagi itu, emak sudah sibuk di dapur sejak subuh. Aku yang baru bangun langsung mencium aroma khas daun pisang yang dipanggang di atas tungku. Itu tanda bahwa sarapan kami adalah nasi jagung lagi.

"Le, sini bantuin emak bungkusin nasi!" panggil emak dari dapur.

"Ah, Mak! Nasi jagung lagi? Kenapa nggak nasi putih, sih?" keluhku sambil menyeret sandal jepit menuju dapur.

"Kalau mau nasi putih terus, jadi anak orang kota aja! Di sini kita makan apa yang ada, Le," jawab emak sambil melipat daun pisang dengan cekatan.

Di meja, sudah ada nasi jagung yang masih mengepul, ditambah lauk sederhana: sambal terasi, ikan asin, dan tumis daun singkong. Kombinasi yang sudah hafal di lidah, tapi tetap bikin aku mendesah pelan setiap kali melihatnya.

"Ayo bungkus! Nanti telat sekolah," ujar emak sambil menyodorkan selembar daun pisang.

Dengan malas, aku mulai membungkus nasi jagung. Aku tak ahli, jadi bentuk bungkusanku mirip bola yang penyok.

"Le, itu bungkus nasi atau bungkusan bom?" ejek emak sambil tertawa.

Aku ikut tertawa, meski sedikit kesal. Setelah semua nasi terbungkus, emak memasukkan dua bungkus ke tas sekolahku. Satu untuk sarapan di sekolah, satu lagi untuk bekal saat main sepak bola sore nanti.

Sesampainya di sekolah, aku membuka bungkus nasi jagung itu di bangku panjang dekat warung kecil Bu Tini. Saat aku mulai makan, Tono, teman sekelasku yang sok kaya, mendekat.

"Wawan, apa itu? Nasi jagung lagi?" tanyanya sambil melirik isi bungkusanku.

"Iya, terus kenapa? Ini makanan sehat, tahu!" jawabku, mencoba terdengar bangga.

"Ah, aku mah makan roti isi cokelat setiap pagi," katanya, memamerkan roti yang terlihat mahal.

Aku hanya mengangguk sambil terus makan. Tapi dalam hati, aku kesal setengah mati. "Besok aku nggak mau kalah," gumamku pelan.

Sore harinya, aku mengutarakan rencana pada emak. "Mak, besok jangan bungkus nasi jagung biasa, ya. Aku mau lauk yang istimewa, biar Tono nggak bisa ngolok-ngolok lagi."

Emak mengangkat alis, lalu tersenyum misterius. "Oke, besok emak kasih yang istimewa."

Keesokan paginya, aku membuka bungkusan nasi jagung dengan penuh harap. Dan di dalamnya, selain nasi jagung, ada lauk baru: tempe goreng! Bukan tempe biasa, tapi yang digoreng dengan balutan tepung tebal.

"Mak, ini tempe gorengnya kayak lapis baja!" protesku, mencoba memotongnya dengan sendok.

"Itu biar awet sampai sore," jawab emak sambil tertawa lebar.

Di sekolah, aku dengan percaya diri membuka bungkusan nasi jagungku. Kali ini, Tono kembali mendekat.

"Wawan, apa itu lagi? Nasi jagung dan... astaga, itu tempe apa batu bata?" ejeknya, diikuti tawa teman-teman yang lain.

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Ini bukan sembarang tempe. Ini tempe spesial buatan emak. Tebalnya bikin kenyang sampai besok!"

Tono mengerutkan dahi, lalu mencoba menahan tawa. Tapi aku tidak peduli. Dengan bangga, aku memakan nasi jagung dan tempe itu, membayangkan wajah emak yang tersenyum puas di rumah.

Sore itu, saat bermain sepak bola, tempe emak benar-benar jadi penyelamat. Ketika kami kehabisan bola karena nyangkut di pohon, aku mengeluarkan tempe goreng sisa bekalku dan berkata, "Pakai ini aja buat latihan. Lumayan berat!"

Kami semua tertawa, lalu benar-benar memainkan tempe itu seperti bola. Ternyata, tempe emak tidak hanya bikin kenyang, tapi juga tahan banting.

Sejak saat itu, aku tidak lagi malu membawa nasi jagung dan tempe ke sekolah. Justru, aku mulai bangga. Karena di setiap gigitan nasi jagung itu, ada rasa cinta emak yang tidak bisa digantikan oleh roti cokelat atau makanan mahal lainnya.

Dan setiap kali aku mengingat tempe goreng "lapis baja" itu, aku selalu tersenyum. Karena di situlah aku belajar, bahwa cinta seorang ibu kadang datang dalam bentuk yang keras di luar, tapi lembut dan penuh kehangatan di dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun