Kata-kata itu membuat kami berhenti mengeluh.
Ada satu momen yang takkan pernah saya lupakan. Suatu hari, kami mendapat kabar bahwa Guru Ahmad jatuh sakit. Rumahnya sederhana sekali, hanya beratap seng dan berdinding anyaman bambu. Para murid dan wali murid bahu-membahu mengumpulkan donasi. Ketika kami mengantarkan uang itu ke rumahnya, beliau menolak.
"Bukan uang yang saya butuhkan," katanya dengan suara pelan tapi mantap. "Tapi doa kalian. Dan janji, kalau saya sembuh, kalian akan belajar lebih giat lagi."
Kami semua menangis. Dalam hati saya bertanya, apa ada orang semulia ini di dunia lain?
Setelah beberapa minggu, Guru Ahmad kembali mengajar. Wajahnya lebih pucat dari biasanya, tapi semangatnya tetap sama. "Kalian pikir sakit membuat saya lupa bagaimana cara mengajar?" tanyanya pada hari pertama kembali. "Tidak semudah itu, Ferguso!" Tawa kami memenuhi ruangan.
Hari ini, saya sering mengenang masa-masa itu. Saya sudah pindah ke kota dan bekerja di tempat yang jauh lebih besar dari madrasah itu. Tapi ajaran Guru Ahmad tetap menemani. Setiap kali saya ragu atau bingung mengambil keputusan, kata-kata beliau muncul di kepala saya.
"Kuatkan akhlakmu, maka kuatlah hidupmu."
Dan setiap saya pulang kampung, saya selalu menyempatkan diri mampir ke madrasah itu. Guru Ahmad masih di sana, meski rambutnya kini sudah penuh uban. "Kamu sukses, Nak," katanya suatu hari. "Tapi jangan lupa, ilmu yang kamu dapat harus kamu gunakan untuk membantu orang lain."
Saya tersenyum sambil mengangguk.
Madrasah itu mungkin kecil dan tua, tapi di dalamnya ada seorang guru yang besar. Seorang guru yang telah mengubah cara kami melihat dunia, bukan dengan kekayaan atau kemewahan, tapi dengan ketulusan hati dan kebijaksanaannya.
Dan bagi saya, Guru Ahmad adalah definisi sesungguhnya dari seorang pahlawan.