Baru-baru ini tersebar berita di layar TV dan medsos. Kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi oleh guru honorer di Indonesia. Supriyani ditangkap polisi setelah dituduh menganiaya salah satu muridnya, seorang anak berusia enam tahun berinisial D. Kasus ini semakin kompleks karena D adalah anak seorang aparat polisi yang bertugas di Polsek Baito. Kejadian ini membuka mata banyak orang tentang realitas berat yang harus dihadapi guru honorer dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari.
Kronologi Kasus Supriyani
Supriyani dikenal sebagai guru yang tegas namun peduli terhadap murid-muridnya. Pada suatu hari, ia menegur D karena perilaku tidak disiplin di kelas. Teguran tersebut, yang biasa terjadi dalam proses belajar mengajar, dianggap berlebihan oleh orang tua D. Tak lama setelah itu, Supriyani dilaporkan ke pihak berwajib dengan tuduhan penganiayaan.
Supriyani, yang hanya berniat mendisiplinkan muridnya, kini harus menghadapi ancaman hukuman pidana. Sebagai seorang guru honorer, posisi Supriyani jauh lebih rentan. Meski telah mengabdi selama bertahun-tahun, status honorer membuatnya tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, baik dari segi hukum maupun ekonomi. Kondisi ini semakin memperjelas betapa beratnya beban yang dipikul oleh guru-guru honorer di daerah terpencil.
Realita Guru Honorer di Pelosok
Guru honorer seperti Supriyani sering kali menjadi pilar pendidikan di daerah terpencil. Mereka berperan penting dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak yang sulit mengakses fasilitas pendidikan yang layak. Namun, meskipun peran mereka krusial, nasib mereka sering terpinggirkan. Gaji yang mereka terima sering kali jauh dari kata layak, bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, status mereka yang tidak tetap membuat mereka selalu berada dalam ketidakpastian, baik dalam hal penghasilan maupun keamanan pekerjaan.
Tugas guru honorer tidak sekadar mengajar. Mereka juga harus mendisiplinkan siswa, menjaga ketertiban kelas, dan sering kali berperan sebagai pengganti orang tua bagi siswa-siswanya. Namun, dalam situasi tertentu, tindakan disiplin yang mereka ambil bisa disalahartikan, seperti yang dialami Supriyani. Tindakan mendidik yang seharusnya diapresiasi berubah menjadi ancaman hukum ketika orang tua siswa adalah seorang aparat penegak hukum.
Dilema Antara Mendisiplinkan dan Risiko Hukum
Kasus Supriyani menyoroti dilema besar yang dihadapi oleh guru honorer. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjalankan perannya sebagai pendidik dengan tegas, termasuk dalam hal mendisiplinkan siswa. Di sisi lain, mereka harus berhati-hati dalam setiap tindakan, karena risiko disalahpahami atau bahkan dilaporkan selalu ada. Guru honorer, terutama di daerah terpencil, sering kali tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, sehingga tindakan mereka mudah sekali dipolitisasi atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan.
Teguran yang dilakukan oleh Supriyani adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang guru. Namun, dengan latar belakang keluarga siswa yang terlibat dalam kasus ini, proses hukum tampaknya berjalan dengan lebih berat di pihak Supriyani. Posisi seorang guru honorer yang rentan, baik secara ekonomi maupun hukum, membuatnya sulit untuk menghadapi tekanan seperti ini. Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya perlindungan hukum yang lebih baik bagi para guru, terutama bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang jauh dari pusat perhatian.
Beban Moral dan Sosial Guru Honorer
Selain beban fisik dan materi, guru honorer juga menghadapi beban moral dan sosial yang berat. Mereka harus berhadapan dengan kondisi lingkungan yang kadang tidak mendukung, minimnya apresiasi dari masyarakat, serta tekanan sosial dari orang tua siswa yang tidak selalu memahami peran dan tanggung jawab seorang guru. Dalam kasus Supriyani, teguran yang diberikan kepada D sebagai upaya mendisiplinkan, seharusnya dimaknai sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab seorang guru. Namun, respons yang muncul malah berupa kriminalisasi terhadap dirinya.
Guru honorer sering kali harus berjalan di atas tali tipis antara tanggung jawab mendidik dan risiko hukum atau sosial. Tanpa perlindungan yang jelas, guru-guru seperti Supriyani mudah sekali tersandung masalah, terutama ketika harus berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan atau pengaruh lebih besar. Kasus ini mencerminkan bahwa peran guru, terutama guru honorer, masih belum mendapatkan apresiasi dan dukungan yang layak dari sistem yang ada.
Refleksi dan Harapan
Nasib Supriyani seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua tentang betapa rentannya posisi guru honorer di Indonesia. Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih serius terhadap kesejahteraan dan perlindungan bagi mereka. Tidak cukup hanya dengan memberikan gaji yang layak, guru honorer juga membutuhkan jaminan perlindungan hukum yang jelas, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan nyaman tanpa harus takut terjerat kasus hukum yang tidak seharusnya.
Masyarakat juga perlu lebih menghargai peran guru, terutama guru honorer, yang bekerja keras di tengah segala keterbatasan. Mereka adalah pilar penting dalam membangun generasi masa depan, namun sering kali terlupakan dan tidak mendapatkan dukungan yang cukup. Kasus Supriyani hanyalah salah satu dari banyak cerita tentang nasib guru honorer yang harus berjuang sendirian.
Pada akhirnya, harapan kita adalah agar kasus ini dapat diselesaikan dengan adil dan memberikan kejelasan hukum bagi Supriyani. Lebih dari itu, semoga kasus ini juga membuka mata pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya melindungi dan mendukung para guru honorer yang selama ini mengabdikan diri tanpa pamrih demi masa depan anak-anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H