Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalau Semua Sama, Buat Apa Menterinya Baru?

18 November 2024   22:57 Diperbarui: 19 November 2024   07:37 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://nasional.sindonews.com.

Ketika kamu lagi di restoran favorit. Seperti biasa, kamu pesan menu andalan: nasi goreng spesial dengan telor ceplok setengah matang. Tapi, hari itu ada pengumuman penting. "Mulai hari ini, chef kami baru!" Oke, chef baru, tapi menunya masih nasi goreng yang sama. Jadi, buat apa chef-nya baru kalau masakannya tetap sama?

Nah, ini juga yang sering terjadi di pemerintahan kita. Setiap beberapa waktu, kita dengar berita "menteri baru." Seremoni besar-besaran, janji segar (segar kayak iklan air mineral), tapi pada akhirnya… kebijakan tetap itu-itu saja. Jadi, kalau kebijakan, program, dan visi misinya nggak banyak berubah, kenapa harus ganti menteri? Apakah kita sebagai rakyat hanya bagian dari parade kostum politik yang nggak ada ujungnya?

Mari kita tinjau dari sisi logis. Menurut data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), 70% kebijakan pemerintahan bersifat berkelanjutan, alias jalan terus meskipun ada pergantian menteri. Dari program infrastruktur sampai pendidikan, yang baru hanya wajah di kantor kementerian. Kebijakannya? Yah, tetap sama, kadang cuma diganti nama biar lebih keren. Jadi, ganti menteri ini ibarat mengganti label pada botol minuman—rasanya tetap sama, cuma bungkusnya aja yang beda.

Kamu mungkin bertanya-tanya, “Kalau cuma ganti bungkus, buat apa ganti menteri?” Nah, itu juga pertanyaan rakyat. Menurut survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 62% masyarakat percaya bahwa pergantian menteri lebih sering disebabkan oleh kepentingan politik ketimbang kinerja. Maksudnya, menteri baru ini bukan datang karena dia lebih hebat, tapi lebih karena giliran partai yang berkuasa. Jadi, bukan soal memperbaiki kebijakan, tapi lebih ke "giliran partai kita nih, bro!"

Lucunya, setiap kali ada menteri baru, kita disuguhi janji yang—kalau dipikir-pikir—hampir selalu sama. "Akan meningkatkan pelayanan," "memperbaiki birokrasi," dan bla bla bla. Saking seringnya dengar janji itu, kita bisa hafal di luar kepala. Bahkan, survei dari SMRC juga mencatat bahwa 80% masyarakat merasa skeptis dengan janji menteri baru, karena ya tahu sendiri, janji tinggal janji, cabai tetap mahal.

Coba kita lihat salah satu contoh yang familiar: sektor pendidikan. Setiap pergantian menteri, selalu ada janji reformasi pendidikan yang “lebih baik”. Tapi data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 70% kebijakan pendidikan dari satu menteri ke menteri lainnya hanya modifikasi dari program yang sudah ada. Jadi, kalau Kurikulum 2013 diganti jadi Kurikulum Merdeka, kita cuma dapat nama baru, tapi pusingnya murid dan gurunya tetap sama.

Lalu, mari kita bahas sedikit soal ekonomi. Apakah ganti menteri ekonomi bikin inflasi turun? Nah, ini dia! Menurut data dari Bank Indonesia, inflasi kita pada tahun 2023 berada di angka 5,3%, dan harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng tetap naik meski menterinya udah ganti. Jadi, menteri baru atau lama, kita tetap harus berjibaku dengan harga-harga yang melonjak. Mungkin hanya kantong kita yang “berubah”, dari tebal jadi tipis.

Lalu, apa yang terjadi dengan waktu? Setiap menteri baru pasti butuh waktu untuk belajar, adaptasi, dan mulai bekerja secara maksimal. Menurut Institute for Government, menteri baru biasanya butuh 6 bulan untuk benar-benar paham seluk-beluk kementeriannya. Selama itu, mereka masih belajar siapa yang duduk di mana, siapa yang bisa diandalkan, dan siapa yang cuma bikin laporan tapi nggak kerja. Jadi, waktu setengah tahun habis buat belajar, baru setelah itu bisa mulai "kerja beneran." Kalau tiap menteri baru begitu, kapan kerja nyatanya dimulai?

Kenyataannya, pergantian menteri seringkali hanya memperpanjang proses yang sebenarnya bisa lebih cepat jika fokus pada perbaikan kebijakan, bukan pada orang-orang yang dirotasi. Dan, siapa yang paling senang dengan semua ini? Tentu saja, politisi. Menurut penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), 60% menteri baru dalam pemerintahan Indonesia biasanya berasal dari kalangan yang punya hubungan erat dengan partai penguasa. Jadi, lebih mirip ajang bagi-bagi jabatan ketimbang memilih orang yang benar-benar bisa kerja.

Akhirnya, kita sebagai rakyat cuma bisa duduk, nonton, dan berharap ada keajaiban. Meski pergantian menteri sering terasa kayak ganti pemain cadangan dalam pertandingan bola yang skornya nggak berubah, kita tetap berharap siapa pun yang duduk di kursi menteri, bisa memberikan hasil nyata. Karena buat kita, yang penting bukan siapa menterinya, tapi apakah hidup kita lebih baik atau tidak. Toh, meskipun wajahnya berganti, kalau masalahnya tetap sama, apa bedanya?

Jadi, pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah: kalau semua kebijakan sama, kalau masalah yang dihadapi tetap sama, buat apa menterinya baru? Mungkin, daripada sibuk gonta-ganti menteri, kita lebih baik fokus pada perubahan nyata. Toh, ujung-ujungnya, kita cuma mau satu hal: harga cabai yang turun dan hidup yang sedikit lebih gampang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun